Pengembangan energi terbarukan mutlak dalam mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. Sejauh mana potensi dan pemanfaatannya di Indonesia?
KOAKSI INDONESIA—Sebagai negara yang telah meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia menyampaikan komitmennya untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor-sektor yang paling banyak menghasilkan GRK.
Salah satu sektor penyumbang emisi terbanyak di Indonesia adalah sektor energi. Oleh karena itu, mengurangi emisi pada sektor ini dapat mempercepat pencapaian target pengurangan emisi sebagaimana komitmen Indonesia dalam Dokumen Nationally Determined Contributions (NDC)-nya terhadap Perjanjian Paris.
Tidak hanya di Indonesia, temuan IPCC menunjukkan emisi GRK global terbesar pada 2019 berasal dari sektor energi yang mencapai 34% (20 GtCO2e) diikuti 24% (14 GtCO2e) dari industri, 22% (13 GtCO2e) dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya (AFOLU), 15% (8,7 GtCO2e) dari transportasi, serta 5,6% (3,3 GtCO2e) dari bangunan.
Apalagi apabila emisi tidak langsung yang berasal dari penggunaan energi seperti pada sektor transportasi, industri, dan bangunan diperhitungkan akan menghasilkan jumlah emisi yang sangat besar.
Mereduksi Emisi dengan Transisi Energi
Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan aktivitas yang membutuhkan energi. Semakin banyak jumlah manusia semakin banyak aktivitas yang dilakukan dan semakin banyak energi yang dibutuhkan. Pemenuhan kebutuhan energi ini tidak akan menimbulkan emisi tingkat tinggi seperti saat ini kalau saja energi itu berasal dari bahan bakar yang ramah lingkungan dan dapat diperbarui.
Baca Juga: Indonesia Rentan Perubahan Iklim, Diminta Lebih Ambisius Turunkan Emisi
Upaya kita untuk berubah dari penggunaan energi berbahan bakar fosil ke energi berbahan bakar ramah lingkungan yang dapat diperbarui itulah yang disebut dengan transisi energi. Dengan kata lain, transisi energi merupakan salah satu bentuk mitigasi terhadap perubahan iklim yang disebabkan emisi GRK dalam jumlah besar.
Realisasi Energi Terbarukan dalam Transisi Energi
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, beragam, dan tersebar hampir di seluruh wilayahnya.
Infografik itu memperlihatkan bahwa pemanfaatan energi terbarukan masih jauh tertinggal daripada potensinya. Walaupun, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2022 naik 19,9% (217 MBOE) dari konsumsi tahun 2021.
Realisasi EBT juga belum mencapai target bauran energi primer 2023. Kementerian ESDM menyatakan, realisasi bauran energi primer yang berasal dari energi baru dan terbarukan pada akhir tahun 2023 mencapai 13,1%. Padahal, targetnya adalah 17,9%. Sementara itu, target bauran energi primer 2025 sebesar 23%. Apakah dalam waktu sekitar dua tahun target bauran itu dapat tercapai? Mengingat setiap tahun (2018—2023) realisasi kenaikan pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi primer hanya sekitar 1—2%.
Berita yang belum menggembirakan mengenai bauran energi primer Indonesia 2023 juga terlihat dari batu bara dan minyak bumi yang masih mendominasi. Dilansir dari Katadata, pada 2023, bauran batu bara dalam energi primer nasional mencapai 40,46% dan minyak bumi 30,18%.
Kemudian, bagaimana pemanfaatan energi terbarukan dalam mewujudkan Enhanced NDC Indonesia? Data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi menunjukkan, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK sektor energi dengan usaha sendiri pada 2030 sebesar 358 juta ton CO2 melalui salah satu strategi berupa pemanfaatan energi terbarukan sebesar 181,45 juta ton CO2. Sampai tahun 2022 pemanfaatannya baru terealisasi 36,61 juta ton CO2e.
Baca Juga: Sederet PR Wujudkan Transisi Energi Terbarukan
Emisi di sektor energi juga berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam untuk pembangkit listrik, bahan bakar kendaraan, dan bahan bakar mesin termasuk mesin-mesin yang digunakan dalam proses industri. Menurut Badan Energi Internasional (International Energy Agency [IEA]), emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar di Indonesia pada 2021 mencapai 556.572Mt CO2 yang didominasi batu bara sebesar 51,4% diikuti minyak bumi (36,2%) dan gas alam (12,5%).
Sayangnya, penggunaan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan masih lambat. Indonesia Energy Transition Outlook 2024 menunjukkan hanya ada tambahan kapasitas terpasang sebesar 1 GW di tahun 2023 dari target awal sebesar 3,4 GW yang ditetapkan pada tahun 2021.
Suplai dan Konsumsi Energi
Penyediaan energi yang langsung bersumber dari alam (energi primer) dan pemakaian energi oleh konsumen akhir (energi final) di Indonesia masih didominasi batu bara dan minyak bumi. Padahal, kedua jenis bahan bakar ini merupakan bahan bakar fosil yang melepaskan emisi dalam jumlah besar yang memerangkap panas matahari sehingga terjadilah pemanasan global.
Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022 memuat data suplai energi primer dan konsumsi energi final berdasarkan jenis dan sektornya selama 10 tahun (2012—2022). Secara ringkas data tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
- Suplai Energi Primer
- Suplai energi primer didominasi batu bara dan minyak bumi, masing-masing sekitar 30—40%. Suplai batu bara meningkat dari 27,77% (2012) menjadi 42,38% (2022), sedangkan minyak bumi menurun dari 47,43% (2012) menjadi 31,40% (2022). Data ini berarti batu bara menempati urutan pertama dalam suplai energi primer dan 73% suplai energi primer dipenuhi oleh batu bara dan minyak bumi.
- Penyediaan EBT meningkat, dari 3,92% (2012) menjadi 12,30% (2022). Walaupun terjadi peningkatan, masih jauh dari persentase batu bara dan minyak bumi.
- Untuk jenis energi terbarukan lain seperti air (hydropower), geotermal, matahari (solar), dan angin tidak mencapai 3% pada 2022. Suplai air (2,89%), geotermal (1,76%), matahari (0,10%), dan angin (0,05%).
- Konsumsi Energi Final
Seperti suplai energi primer, konsumsi energi final pada 2022 didominasi oleh batu bara (26,87%) dan bahan bakar minyak (23,76%). Total konsumsi energi final yang berasal dari kedua jenis bahan bakar itu sekitar 50%.
- Sektor Pengonsumsi Energi Final Terbanyak
Industri dan transportasi merupakan dua sektor yang paling banyak mengonsumsi energi selama 2012—2022. Persentasenya jauh melebihi tiga sektor lainnya, yaitu rumah tangga, komersial, dan sektor lainnya.
Penggunaan energi dalam dua sektor ini seharusnya bersumber dari energi terbarukan. Apabila bersumber dari pembakaran batu bara sekalipun telah dikonversi menjadi energi listrik akan tetap menghasilkan banyak emisi.
Pengembangan Energi Terbarukan untuk Peningkatan Ekonomi
Pengembangan energi terbarukan tidak hanya dapat mengurangi emisi GRK sebesar 89 juta ton CO2e sehingga mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga berperan penting dalam pengembangan perekonomian kita. Mengacu Green RUPTL, pengembangan EBT akan menghasilkan total investasi sekitar USD 55,18 miliar dan membuka 281.566 lapangan kerja baru.
Hanya, target investasi energi terbarukan pada 2023 sebesar USD 1,8 miliar belum tercapai. Siaran pers Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, yang baru tercapai sebesar USD 1,5 miliar. Sementara pada 2024, pemerintah menargetkan USD 2,6 miliar. Padahal untuk mencapai Net Zero Emission (NZE), Indonesia membutuhkan pendanaan energi terbarukan sebesar USD 25 miliar per tahun hingga 2030.