Hari Jamu Nasional 27 Mei bukan sekadar peringatan jamu sebagai warisan budaya dan kearifan lokal turun-temurun. Namun, jamu dapat menjadi penggerak ekonomi lokal yang mengglobal tanpa merusak lingkungan.
KOAKSI INDONESIA—Masyarakat Nusantara telah mengonsumsi jamu sejak berabad-abad lalu. Jamu telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Melalui jamu, manusia menjalin hubungan yang harmonis dengan alam.
Dilasir dari Kompas.id, jamu sebagai pengobatan tradisional merupakan salah satu warisan ilmu pengetahuan dari nenek moyang di hampir setiap suku bangsa di Indonesia. Bukti arkeologis budaya sehat jamu tercetak di relief Karmawibangga Candi Borobudur (750 M), situs Liyangan (800 M), Prasasti Madhawapura (1305 M), dan Candi Rimbi (1329 M).
Naskah-naskah lama juga menyebut penggunaan jamu, seperti Kitab Kutaramanawa, Sarasmuccaya, Kawruh Jampi Jawi, lontar Usada Bali, kitab Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, dan Serat Centhini.
Jamu juga menarik minat orang Belanda untuk meneliti dan memanfaatkannya. Sumber yang sama menyatakan, penelitian tentang jamu pernah dilakukan oleh Rumphius, seorang botanis Belanda, dalam buku Herbarium Amboinense (1775). Sementara dilansir dari National Geographic Indonesia, orang-orang Belanda yang lama tinggal di Hindia Timur tertarik mengonsumsi dan menggunakan jamu untuk berbagai kebutuhan sejak zaman kolonialisme.
Pengakuan Jamu
Perjalanan berabad-abad itu mencapai “puncaknya” pada 6 Desember 2023, saat Budaya Sehat Jamu dari Indonesia resmi menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Unesco. Pengakuan dunia internasional ini menunjukkan bahwa jamu tidak sekadar perwujudan budaya, melainkan perwujudan dari kekayaan dan keterampilan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya disertai nilai sosial dan ekonomi yang terkandung di dalamnya yang berguna bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Sebelum pengakuan Unesco ini, pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan berbagai upaya agar masyarakat melestarikan jamu (Hari Jamu Nasional), jamu diterima secara luas sebagai obat tradisional Indonesia melalui program saintifikasi jamu (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003 Tahun 2010), dan kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemangku kepentingan memiliki pedoman dalam pengembangan dan pemanfaatan jamu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menjaga konservasi sumber daya alam secara berkelanjutan dan lestari (Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2023).
Penggerak Ekonomi yang Potensial
Masih ingat pandemi COVID-19? Pandemi yang tidak hanya berdampak pada kesehatan manusia, tetapi juga kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya di seluruh dunia. Di tengah-tengah ketidaknyamanan hidup akibat pandemi COVID-19, ada berita baik di Indonesia. Dikutip dari infopublik.id, selama pandemi COVID-19, kebutuhan akan jamu melonjak seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya meningkatkan imunitas tubuh. Selain itu, sejak Januari hingga Juli 2020 telah diterbitkan izin edar untuk 178 obat tradisional, tiga fitofarmaka, dan 149 suplemen kesehatan lokal dengan khasiat membantu memelihara daya tahan tubuh.
Sebenarnya sebelum pandemi terjadi, peluang pertumbuhan pasar jamu di Indonesia sangat besar karena riset kesehatan pada tahun 2018 menunjukkan 48% masyarakat mempunyai kebiasaan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional dalam upaya kesehatan, salah satunya dengan mengonsumsi jamu.
Mengutip data Kementerian Perindustrian, potensi nilai penjualan jamu di pasar domestik tahun 2020 baru sekitar Rp20 triliun. Padahal, jauh sebelum pandemi COVID-19, potensi nilai penjualan jamu di pasar domestik mencapai Rp25 triliun dalam setahun sebagaimana dikutip dari Antara.
Kesadaran untuk meningkatkan daya tahan tubuh melalui bahan-bahan tradisional pada saat pandemi juga menjadi tren di negara-negara lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dikelola Kementerian Perdagangan, total nilai ekspor Jamu Indonesia pada tahun 2021 mencapai USD41,5 juta, meningkat 10,96% dibandingkan tahun 2019.
Seiring dengan tren kembali ke alam, pasar ekspor jamu akan semakin bertumbuh. Situs web Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan, menurut WHO sekitar 80% penduduk dunia menggunakan obat berbasis herbal untuk menjaga kesehatan. Sementara itu, data Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) tahun 2020 mencatat nilai pasar dunia terhadap produk obat bahan alam berkisar Rp1.936,9 trilliun. Sayangnya, penguasaan jamu terhadap pasar obat bahan alam dunia masih sangat rendah, yaitu Rp16 triliun atau hanya 0,8% dari total pasar dunia.
Baca Juga: Tindakan Adaptasi Iklim dengan Memanfaatkan Potensi HHBK
Indonesia tidak hanya bisa memenuhi pertumbuhan pasar domestik jamu, tetapi juga menjadi pemimpin dalam pasar obat bahan alam di dunia dengan kekayaan bahan baku yang dimilikinya. Dalam Sehat Negeriku dinyatakan, Indonesia memiliki potensi sumber daya melimpah yang bisa dimanfaatkan dalam pengembangan obat tradisional dan mengurangi ketergantungan impor di antaranya memiliki hutan tropis sekitar 142 juta hektar yang diperkirakan mempunyai 28 ribu spesies tumbuhan dan rumah dari 80% tumbuhan obat dunia. Sekitar 2.848 spesies tumbuhan obat dengan 32.014 ramuan obat tradisional sudah dimanfaatkan sebagai salah satu metode pengobatan di Indonesia.
Industri jamu telah menjadi salah satu industri andalan nasional sehingga patut dikembangkan. Pengembangan dan inovasi dalam industri jamu akan melibatkan petani dalam penanaman bahan baku jamu, peneliti di bidang pertanian, bioteknologi, farmakologi, dan kimia, menyerap banyak tenaga kerja di bagian produksi dan pemasaran, mengembangkan kemitraan dengan penjual jamu, dan mengembangkan berbagai industri lain yang menunjang proses produksi jamu berjalan optimal seperti penciptaan mesin-mesin pengering bahan baku dan pengemasan.
Meskipun usaha jamu sebagian besar masih merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), potensinya terhadap perekonomian nasional sangat signifikan. Data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menunjukkan peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha. Pada tahun 2023, pelaku usaha UMKM mencapai sekitar 66 juta. Kontribusi UMKM mencapai 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setara Rp9.580 triliun. UMKM menyerap sekitar 117 juta pekerja (97%) dari total tenaga kerja.
Industri Jamu Sebagai Green Jobs
Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) menyatakan green jobs sebagai pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan secara efektif berhubungan dengan Tujuan Pembangunan Milenium 1 (pengurangan kemiskinan) dan Tujuan Pembangunan Milenium 7 (melindungi lingkungan hidup) yang saling melengkapi dan bukan bertentangan satu sama lain.
Dari sisi ekonomi, usaha jamu baik berupa UMKM seperti jamu gendong maupun industri besar telah menunjukkan potensinya dalam menggerakkan perekonomian masyarakat. Dengan demikian, jamu telah memenuhi satu kriteria green jobs, yaitu pekerjaan yang layak. Lalu, apakah jamu telah memenuhi kriteria green jobs yang lain, yaitu pekerjaan yang ramah lingkungan?
Agar dapat memenuhi kriteria itu, usaha jamu seharusnya menerapkan praktik pertanian dan pengumpulan tanaman obat yang baik. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), justru praktik ini merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk menjamin mutu obat herbal yang dihasilkan sekaligus melindungi sumber daya alam tanaman obat untuk pemanfaatan berkelanjutan.
Budi daya tanaman obat yang dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan pada akhirnya akan menurunkan kandungan tanaman obat sebagai bahan baku jamu. Tanaman berkualitas akan menjadi bahan baku berkualitas yang menghasilkan limbah lebih sedikit.
Pengambilan terus-menerus bahan baku ini tanpa disertai upaya untuk membudidayakannya dapat menyebabkan pasokan berkurang, bahkan bukan tidak mungkin habis sehingga merusak lingkungan dan usaha jamu tidak bisa berproduksi. Pada akhirnya, jamu tidak lagi menjadi penggerak ekonomi.
Selain budi daya, limbah hasil pengolahan bahan baku menjadi jamu harus diolah agar tidak mencemari lingkungan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengolahan limbah jamu dapat dimanfaatkan untuk pupuk, bahan pakan ternak kambing kacang (kambing lokal Indonesia) dan ikan hingga biogas dan biomassa yang digunakan untuk mengerakkan mesin-mesin produksi.
Satu Bukti Nyata
Salah satu contoh industri pengolahan herbal dan rempah-rempah yang berhasil menerapkan green jobs dalam produknya adalah Agradaya. Perusahaan yang didirikan sebagai upaya untuk mewujudkan bumi yang lestari melalui penerapan praktik pertanian dan perkebunan rempah yang berkelanjutan ini telah melahirkan beragam ramuan herbal dan rempah-rempah dalam bentuk minuman, serbuk, seduhan, maupun simplisia yang dikemas dengan sangat menarik mengikuti selera kekinian. Sederhananya, jamu dalam versi modern yang bermanfaat bagi manusia dan alam.
Dalam melakukan pertanian berkelanjutan, Agradaya bermitra dengan petani kecil untuk memenuhi pasokan bahan bakunya. Semua ini dilakukan sejalan dengan misi mereka untuk menciptakan kesejahteraan petani dan membangun desa. Kemitraan itu melibatkan ratusan petani untuk membudidayakan dan mengolah tanaman biofarmasi seperti jahe, kunyit, dan kunyit Jawa (Curcuma) di beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Kemitraan berbasis komunitas ini mengedukasi para petani agar mereka dapat menghasilkan herba dan rempah berkualitas dengan harga bersaing yang bisa meningkatkan taraf hidup petani melalui penerapan sistem pertanian alami yang ramah lingkungan.
Baca Juga: Berkebun Vertikultur Membuka Peluang Ekonomi Sekaligus sebagai Aksi dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Dari kemitraan itu, petani mampu melakukan budi daya tanaman rempah dan herba dengan memanfaatkan lahan hutan atau pekarangan yang diolah dengan prinsip tumpang sari, membuat pupuk sendiri dengan bahan alami yang tersedia di alam sekitar, dan menghasilkan bahan baku kering melalui proses pengeringan memanfaatkan energi yang murah dan ramah lingkungan. Misalnya, mengeringkan hasil panen dalam Rumah Surya yang menggunakan radiasi sinar matahari dan tungku biomassa. Dengan kata lain, memanfaatkan energi terbarukan untuk mengolah dan mengeringkan hasil panen.
Di balik kemasannya yang cantik, produk Agradaya menyimpan nilai-nilai berharga yang lebih dari sekadar uang. Ada khasiat kesehatan, pemberdayaan petani, dan kesadaran bahwa alam telah memberikan hidup dan penghidupan yang baik.
Berbagai produk Agradaya telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia hingga mancanegara seperti Australia dan Belgia. Tidak hanya memanfaatkan e-commerce, Agradaya memperkenalkan produknya melalui pameran seperti di Jepang dan ekspor langsung ke negara-negara lain.
Fokus Agradaya pada pertanian berkelanjutan dan pemberdayaan petani merupakan implementasi dari green jobs. Sebagai organisasi nirlaba yang berfokus pada keberlanjutan, Koaksi Indonesia senantiasa memberikan perhatian besar pada perkembangan green jobs di Indonesia. Bagi Koaksi Indonesia, green jobs menjadi jalan bagi kehidupan berkelanjutan sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, Koaksi Indonesia melakukan berbagai upaya untuk memperkenalkan sekaligus meningkatkan kesadaran individu maupun masyarakat untuk menekuni green jobs melalui platform greenjobs.id dan kolaborasi dengan berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah.
Kolaborasi Koaksi Indonesia dengan Agradaya untuk mengedukasi green jobs kepada generasi muda dilakukan melalui salah satu program rutin Koaksi Indonesia, Green Jobs Class. Suatu forum yang menginspirasi anak muda untuk terjun ke green jobs. Dalam forum itu, Asri Saraswati, Co-founder Agradaya, berbagi pengalamannya membangun bisnis ini serta berbagai tips mengelolanya.
Agradaya telah membuktikan bahwa industri olahan herbal dan rempah-rempah merupakan green jobs.