Pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir hingga saat ini, telah berdampak serius pada sektor industri. Semakin melemahnya ekonomi juga berakibat pada banyaknya orang harus rela kehilangan pekerjaan dan dipaksa bertahan di tengah situasi yang tak pasti. Selain itu, situasi pandemi ini akhirnya membuat banyak orang mulai sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan dan alam agar dampak-dampak kerusakan alam atau ketidakseimbangan ekosistem, seperti halnya pandemi yang sedang berlangsung saat ini dapat kita hindari.
Dalam situasi seperti ini, opsi pekerjaan-pekerjaan yang ramah lingkungan atau biasa disebut dengan istilah ‘green jobs’ menjadi salah satu solusi. Memfasilitasi kebutuhan akan informasi terkait green jobs inilah Koaksi melalui kegiatan diskusi publik ruang aksi ke-21 yang dilakukan secara virtual dan diskusi publik melalui Instagram Live di akun media sosial, Koaksi menghadirkan tiga narasumber yang merupakan pekerja-pekerja di sektor green jobs. Ketiganya adalah Direktur Associate di Climate Policy Initiative dan Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Tiza Mafira, Manajer Program, Institute for Essential Services Reform (IESR) Jannata Giwangkara dan Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Rahyang Nusantara.
Jannata Giwangkara atau yang akrab disapa Egi mengungkapkan bahwa green economic recovery berbasis green jobs menjadi salah satu opsi terbaik untuk dapat memperbaiki sistem ekonomi yang kolaps. Hal senada juga disampaikan oleh Tiza, yang cukup lama berkecimpung menjadi pekerja di sektor green jobs menyampaikan bahwa jika kita mau mencapai taraf hidup yang baik jangka panjang, kita harus go green. “Orang sering berpikir kita harus balance antara ekonomi dan lingkungan, yang sebenarnya adalah ekonomi bergantung pada konservasi dan kelestarian lingkungan. Memperjuangkan yang green adalah sama dengan memperjuangkan kesejahteraan hidup kita, dalam jangka panjang.” tegas Tiza.
Menurut Tiza, sebenarnya sektor green jobs ini ada dimana-mana, termasuk di sektor pemerintah, swasta, CSO/NGO. Sayangnya, masih banyak yang berpikir bahwa green jobs adalah pekerjaan yang berhubungan dengan aktivisme saja. “Tantangannya banyak yang masih mengira kalau sektor green jobs itu adalah aktivisme atau kerelawanan. Padahal banyak sekali para profesional yang melakukan green jobs dan memang melakukan pekerjaan sesuai dengan keahliannya masing-masing. Sebenarnya bisa melakukan green jobs dalam pekerjaan lain yang kelihatannya bukan sektor yang green.” papar Tiza.
Selain pendapat umum bahwa sektor green jobs ini hanyalah pekerjaan aktivisme, hal lain yang seringkali dipertanyakan publik adalah apakah sektor ini dapat menjamin kesejahteraan pekerjanya? Menjawab pertanyaan ini, Rahyang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang berpikir bahwa mereka yang kerja di sektor non-profit seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO) terkesan sukarela dan tidak dibayar, padahal tidak demikian kenyataannya. “Perlu orang yang dedicated khusus yang bisa mengantar organisasi ke tujuan akhirnya, dan orang-orang ini dikompensasi dengan uang. Ini sesuatu hal yang wajar. Tapi mungkin perbedaannya ada di kemampuan (membayar) LSM dan pemerintah atau korporat. Di LSM karena tujuan bukan untuk profit, tidak ada standar yang baku banget, di korporate atau pemerintahan ada. Jika ingin berkarir di green jobs, ini tergantung alasan benefit untuk kita diri sendiri.” jelas Rahyang.
Terkait keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk terjun ke sektor green jobs, Tiza menyampaikan bahwa keahlian yang dibutuhkan banyak sekali karena pada dasarnya sektor ini sama saja dengan jenis pekerjaan pada umumnya. “Kata kuncinya disini adalah transisi, dan bukan transisi dari segi skills set sih, melainkan transisi sektoral aja gitu. Para pekerja yang awalnya di brown industri bisa bekerja di green industri, karena pada dasarnya kebutuhan skill dan pekerjaannya bisa jadi sama.” ungkap Tiza.
Berdasarkan pengalamannya bekerja di sektor green jobs hingga saat ini, Tiza mengungkapkan keuntungan-keuntungan yang diperoleh, diantaranya adalah tercapainya kepuasan diri (fulfillment), terbangunnya jejaring (networking), kemampuan mengutarakan opini serta mendapatkan pengalaman berkesan saat pekerjaan yang dijalani membawa perubahan yang nyata, seperti dijadikan peraturan pemerintah atau dipakai menjadi kebijakan. Tiza juga menganggap penting bagi kita untuk mendukung energi terbarukan. Hal ini karena saat ini hampir 50 persen emisi yang menyebabkan polusi dan perubahan iklim datang dari sektor energi, baik dari energi listrik atau transportasi. “Kalau kita mau hidup di kota yang sehat dan tidak membuat kita sakit: sakit paru-paru dsb, kita harus dan wajib hukumnya beralih ke energi terbarukan.” tegas Tiza.
Selain persepsi soal green jobs, potensi atau peluang green jobs sendiri juga menjadi hal yang penting untuk ditelusuri. Terkait potensi pekerjaan ramah lingkungan di sektor energi, Egi menyampaikan bahwa dalam satu decade kedepan, potensi lapangan kerja di sektor energi terbarukan di Indonesia dapat mencapai hingga 1,7 juta di tahun 2030. Sektor energi surya tetap mendominasi serapan tenaga kerja, tapi dari densitas kerja masing-masing teknologi, yang paling banyak per kilowatt sistem adalah sektor geothermal.
Di Indonesia sendiri, Egi menyampaikan bahwa secara statistik peningkatan bisnis atau perusahaan sudah mulai bertumbuh atau berpindah ke sektor yang lebih green. “Khusus di sektor energi sudah tahun kelima ada investasi energi terbarukan di dunia melebihi investasi fosil. Di sektor lainnya sudah mulai bangkit juga, contohnya pariwisata. Sekarang sudah banyak yang menawarkan fitur atau tema yang ‘eco’ seperti eco-tourism. Ada beberapa industri di Indonesia yang sudah mengarah ke sana. Ada beberapa sektor ekonomi baru yang menawarkan jasa-jasa yang fokus ke lingkungan. Di seluruh dunia ada gerakan untuk membuat hal yang carbon negative jadi carbon neutral ataupun net positive untuk lingkungan.” papar Egi.
Menambahkan pendapat Egi, menurut Rahyang saat ini konsumen masyarakat urban sudah pintar, dan lebih mengarah ke ‘sadar’ atau bertanggung jawab dan akan memilih produk-produk dari perusahaan yang punya value lingkungan yang kuat. “Produk ramah lingkungan di Indonesia ada yang mahal ada yang murah, saya juga ga ngerti kenapa produk ramah lingkungan dibentuk imagenya sebagai produk yang mahal, apakah karena harga produksinya mahal atau mau terlihat keren saja saya ga ngerti. Opsi mahal atau murah sebenarnya ada. Ini tergantung kondisi setiap orang apa mahal dan apa tidak, sesuai purchasing power masing-masing. Produk ramah lingkungan di Indonesia itu sebagian besar diproduksi di Cina, jadi ada jejak karbon dari shipping, niatnya green tapi dari jauh juga jadinya tidak ramah lingkungan, kita sebagai konsumen harus paham, kita selalu mikir produk luar pasti lebih bagus, tapi tidak pasti begitu.”
Lalu seperti apa dukungan dari publik untuk dapat mendukung upaya atau inisiatif menjaga lingkungan selain terjun ke green jobs? Mengutip pesan penutup dari Tiza, bahwa tidak ada yang terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap perubahan yang lebih baik. “Kita saat ini sedang mengalami krisis. Bayangkan krisis iklim juga seperti ini, kita tidak tahu kapan ini akan berakhir. Kita bisa menang, bisa tidak. Kalau kita mau menang, kita dan semua sektor harus bergerak, apapun posisimu dan pekerjaan kamu sekarang, ga ada yang terlalu kecil untuk bergerak. Intinya bukan sebesar apa pergerakannya, tapi ini harus terserap ke dalam sistem di semua sektor. Jadi sekecil apapun tindakan yang dilakukan, kita akan berpikir dulu apakah tindakan ini akan bisa bikin kita survive dekade ini. Jangan mulai bergerak saat krisis iklim sudah semakin parah, kita sudah harus mulai siap-siap dari sekarang.” tutup Tiza.
(Yessi Febrianty/Coaction Indonesia)