Mungkin, dengan mendorong penciptaan ruang kolaboratif antarmasyarakat yang menjadikan isu transisi energi sebagai kebiasaan hidup sehari-hari.
KOAKSI INDONESIA — Isu perubahan iklim seiring waktu kian mendapat sorotan pada ranah akademis maupun forum diskusi lembaga sosial. Potensi nasional untuk beradaptasi dengan perubahan iklim sangat penting, khususnya pemanfaatan energi terbarukan (ET). Pemanfaatan panel surya dan kendaraan listrik (electric vehicle) berbasis baterai di perkotaan sebagai salah satu contoh adaptasi baru terhadap perkembangan teknologi di era modern saat ini.
Transisi energi menurut Energy Transition Commission didefinisikan sebagai perubahan dalam sistem energi terkait supply chain dan konsumsi. Saat ini, transisi menuju energi berkelanjutan (didominasi energi terbarukan) untuk mengatasi perubahan iklim.
Baca juga: Ubah Prahara RUU EBET jadi RUU ET untuk Percepat Transisi Energi
Senada dengan hal tersebut, penerapan energi terbarukan di negara-negara berkembang mengalami pertumbuhan pesat. Mengutip portal berita SWA, investasi energi terbarukan di ASEAN mencapai US$8 miliar per tahun selama 2016—2021, dengan kebutuhan sebesar US$27 miliar per tahun guna mendukung ambisi untuk mewujudkan bauran energi terbarukan sebesar 20—30% pada 2025. Fakta ini menunjukkan keseriusan negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara untuk menerapkan transisi energi.
Mengutip studi kajian IPB, Indonesia memiliki cadangan sumber daya energi dari tenaga air sebesar 75 GW, geotermal 25,8 GW, bioenergi 32,68 GW, angin 60,6 GW, matahari 207,8 GW, dan arus laut sebesar 60,6 GW. Data lapangan ini dapat dilihat sebagai peluang jika Indonesia konsisten menerapkan transisi energi.
Peran Generasi Muda
Jika berbicara di ranah sosial, budaya populer (pop culture) sering kali mencerminkan suatu tren atau kebiasaan di masyarakat. Menurut profesor kajian budaya dan direktur pusat penelitian media dan budaya Sunderland University John Storey dalam bukunya Cultural Theory and Popular Culture, budaya populer adalah budaya yang diciptakan oleh masyarakat, bersifat masif, dan berorientasi pada pasar. Senada dengan definisi itu, dosen sosiologi Leicester University Dominic melalui bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture, menjelaskan bahwa budaya dapat tercipta dari kehendak media. Dia berpandangan, lahirnya budaya dalam berbagai bentuk komoditas lebih mematok nilai keuntungan dan nilai jual dibandingkan kualitas, keindahan, integritas, dan tantangan intelektual.
Apakah konteks tersebut akan relevan dan mudah diadaptasi oleh masyarakat Indonesia? Lantas, mungkinkah adaptasi perubahan iklim dan transisi ke sumber energi ramah lingkungan mampu menjadi budaya populer yang dapat menyebar ke berbagai bentuk media dan budaya masyarakat urban? Wacana ini dapat dikembangkan dengan menyelaraskan pemahaman sustainability pada transisi energi dan afeksi generasi muda.
Baca juga: Lika-liku Transisi Energi yang Berkeadilan
Beberapa opsi yang dapat menjadi pertimbangan adalah musik, film, dan gaya hidup influencer/artis yang menjadi panutan masyarakat. Aspek-aspek tersebut dapat menjadi cara untuk menyebarkan wacana berkelanjutan (sustainability) terkait transisi energi sebagai solusi bagi lingkungan hidup. Sebagai contoh nyata, Kota Toshima di Jepang berkolaborasi dengan Manga (salah satu produk animasi terlaris Jepang) untuk menghadirkan diorama dan prototipe kota yang unik dan sesuai dengan nilai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Inisiatif seperti Toshima dengan implementasi berupa karya, mendorong kota yang layak dan amplifikasi energi terbarukan seperti panel surya dan mobil berdaya listrik. Berkaca dari Kota Toshima, inisiatif ide alternatif dan komunikasi lintas sektor harus dijalankan agar menciptakan adaptasi baru melalui pendekatan yang relevan bagi masyarakat luas.
Salah satu moda kampanye yang dapat dijadikan contoh untuk generasi muda adalah eco-living dan sustainable tourism yang memadukan kegiatan wisata dan konservasi. Dua hal ini dapat dioptimalkan mengingat masyarakat urban gemar untuk healing di sela waktu luang mereka. Agenda wisata yang menerapkan eco-living, seperti penggunaan moda transportasi publik yang nol emisi, berkunjung ke tempat-tempat yang sudah mengoperasikan energi terbarukan, dan konservasi mangrove di pesisir.
Generasi muda berperan besar dalam menjawab tantangan perubahan iklim melalui gerakan kolaborasi yang dihimpun oleh lapisan masyarakat seperti pegiat lingkungan (CSO), maupun tokoh masyarakat lain harus terkoneksi dengan baik. Dengan demikian, mempermudah proses komunikasi generasi muda ketika berhadapan dengan pembuat kebijakan dalam menentukan prioritas narasi transisi energi dalam masyarakat.
Inisiatif ini dapat diimplementasikan melalui diseminasi bentuk yang lebih umum saat ini seperti seminar luring, penggarapan acara yang lebih kolektif, hingga peranan media kreatif dapat mendorong terciptanya ruang kolaboratif antarmasyarakat. Solusi yang adaptif dan responsif ini membuat persebaran isu terkait transisi energi dan sustainability living menjadi nilai-nilai yang dapat dijadikan kebiasaan sehari-hari.
Harapannya, informasi yang semakin luas tersebar akan mengurangi emisi sehingga pesan ramah lingkungan akan menjadi identitas di kalangan kaum muda. Perspektif ini perlu diwadahi dan dijadikan contoh dalam lapisan masyarakat yang heterogen. Dengan menerapkan kebiasaan ramah lingkungan serta mendorong percepatan transisi energi, Indonesia melalui generasi muda mampu mengadaptasi negara-negara barat yang kerap menjadi percontohan modernisme teknologi dalam menciptakan faktor alternatif untuk kebaikan iklim.
Baca juga: Start-Up Pengelolaan Sampah, Terobosan Green Jobs oleh Generasi Milenial Menuju Bonus Demografi