Penulis: Kevin Alexander, Periset Koaksi Indonesia
Editor: Yessi Febrianty
Energi terbarukan adalah energi yang bersumber dari dan tergantung pada alam. Pembangkit listrik tenaga surya bergantung pada intensitas cahaya matahari yang bisa menurun saat sore, malam, atau cuaca berawan tebal. Tenaga angin pun memiliki dependensi pada kecepatan angin yang berfluktuasi sesuai cuaca dan iklim, sama halnya dengan tenaga hidro yang terikat pada curah hujan. Kondisi tidak konstan ini yang membuat pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan memiliki sifat intermiten (berselang-seling).
Bagi masyarakat perkotaan yang telah merasakan suplai energi secara konstan, maka keterbatasan pasokan listrik tidaklah menjadi opsi yang menyenangkan. Ekonomi masyarakat di daerah juga akan sulit berkembang secara optimal jika listrik tersedia secara terbatas. Hingga saat ini energi fosil masih menjadi sumber energi utama, salah satu alasannya karena dapat menyuplai energi secara konstan. Ketika energi terbarukan ingin bersaing dengan energi fosil, maka sifat intermiten harus dapat dikurangi secara signifikan atau bahkan dihilangkan.
Sifat intermiten ini dapat dianalogikan dengan sistem keuangan seorang freelancer. Ada kalanya seorang freelancer mendapat proyek berpenghasilan tinggi, namun ada juga saat dimana pendapatannya sedang turun karena sedang sepi job. Padahal, kebutuhan sehari-harinya cenderung konstan (seperti tetap butuh makan 3 kali sehari dan membayar biaya tempat tinggal). Bagaimana seorang freelancer dapat mengelola pendapatannya yang tidak pasti? Menaikkan pendapatan, menabung, atau mengelola pengeluaran.
Industri energi terbarukan sudah banyak mencoba “menabung” dengan energy storage berupa baterai. Teknologi baterai yang ada sekarang sudah lebih murah dan efisien dibandingkan beberapa dekade ke belakang, namun banyak yang menilai masih kurang dapat dipercaya dalam hal memastikan suplai dari pembangkit listrik energi terbarukan.
Masih menggunakan analogi seorang freelancer, dalam upaya “menaikkan pendapatan” energi terbarukan salah satunya yaitu mencoba meningkatkan suplai energi dari alam. Namun, terdapat batas dimana alam bisa dimanipulasi untuk mengikuti kebutuhan sebagai pembangkit listrik. Contohnya, matahari tidak bisa “dipaksa” untuk menyinari suatu area PLTS secara optimal selama 24 jam penuh, atau angin tidak bisa “dipaksa” untuk bergerak dengan kecepatan yang stabil secara konstan melewati PLTB. Maka, yang dapat dijadikan fokus adalah merekayasa manajemen supply dan demand untuk sistem kelistrikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi virtual power plant.
Fadli, Maharani, dan Liemanto (2018) mendefinisikan virtual power plant (VPP) sebagai “teknologi smart grid digunakan untuk mengumpulkan semua unit pembangkit listrik untuk dioperasikan generator daya tunggal yang mampu mengendalikan dan mengelola arus listrik kembali ke beberapa unit daya generator sesuai kebutuhan.”[1] Secara lebih sederhana, VPP akan mengelola suplai dari beberapa pembangkit listrik dan menggabungkannya untuk menyuplai arus listrik yang lebih stabil berdasarkan kebutuhan konsumen.
Contoh skema sederhana dari VPP dapat dilihat pada ilustrasi berikut:
Contoh di atas menggabungkan PLTS (surya), PLTB (angin), PLTMH (mikrohidro), dan PLTBm (biomassa) dengan kapasitasnya masing-masing. Tentu saja, pada awal desain harus memaksimalkan potensi keluaran energi.
- PLTBm umumnya dapat mengeluarkan energi dengan konstan karena suplainya dapat diatur, maka dapat dimanfaatkan untuk menyuplai base load.
- PLTS dapat membantu melengkapi PLTBm saat siang hari, terutama saat musim kemarau.
- PLTB umumnya masih bersifat sangat fluktuatif dan akan bekerja secara optimal ketika angin bergerak dengan intensitas yang tinggi, seperti pada musim pancaroba.
- PLTMH akan mencapai potensi maksimalnya ketika musim penghujan, berbanding terbalik dengan PLTS.
VPP dapat memanfaatkan teknologi artificial intelligence untuk mengatur suplai dari setiap pembangkit dan mendistribusikannya ke konsumen yang membutuhkannya sesuai load profile. Dalam level teknologi yang lebih tinggi, VPP juga bisa dimanfaatkan untuk mengatur perangkat konsumen yang berupa smart devices ketika perangkat tersebut membutuhkan energi besar namun bukanlah perangkat prioritas dalam kehidupan sehari-hari. Jika kembali pada analogi freelancer, VPP ini dapat dilihat sebagai suatu sistem atau perusahaan yang memberikan seorang freelancer pendapatan yang tetap melalui manajemen beberapa proyek sekaligus.
Tentu saja contoh di atas adalah kondisi yang sangat ideal dimana satu lokasi dapat memuat banyak jenis pembangkit listrik. Akan tetapi, sistem VPP harus menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia maupun pelaku usaha jika ingin mendorong penerapan energi terbarukan, karena saat ini satu jenis pembangkit listrik energi terbarukan masih sulit untuk berdiri sendiri.
[1] Fadli, M., Maharani, D. and Liemanto, A. (2018). The Future of Sustaining Energy Using Virtual Power Plant: Challenges and Opportunities for More Efficiently Distributed Energy Resources in Indonesia. In: International Conference on Energy and Mining Law.