Tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui adanya potensi besar untuk pemanfaatan minyak goreng bekas atau yang biasa disebut minyak jelantah. Kebanyakan rumah tangga di Indonesia masih membuang minyak goreng setelah penggunaan meskipun tanpa menyadari bahwa minyak goreng bekas memiliki nilai pasar yang cukup tinggi. Salah satu produk turunan yang dapat dihasilkan sebagai hasil pengolahan minyak goreng bekas adalah Biodiesel yang dapat digunakan sebagai substitusi minyak solar bagi mesin diesel untuk sektor transportasi ataupun industri. Studi “The Potential Economic, Health and Greenhouse Gas Benefits of Incorporating Used Cooking Oil into Indonesia’s Biodiesel” (https://www.theicct.org/publications/uco-biofuel-benefits-indonesia) yang diterbitkan oleh International Council on Clean Transportation (ICCT) bekerja sama dengan Koaksi Indonesia menyebutkan bahwa potensi produksi biodiesel dari minyak goreng bekas dapat mencapai 2.36 juta KL atau sekitar 84% dari produksi biodiesel nasional saat ini.
Di beberapa kota besar di Indonesia, tanpa disadari telah muncul berbagai inisiatif untuk mengumpulkan, mengolah, serta memasarkan kembali produk olahan minyak goreng bekas yang diperoleh dari berbagai sektor seperti rumah tangga dan restoran. Inisiatif – inisiatif tersebut dapat diselenggarakan oleh berbagai pihak mulai dari masyarakat, sektor swasta, sampai dengan pemerintah daerah. Beberapa pihak yang telah teridentifikasi mengusahakan minyak goreng bekas untuk produksi biodiesel antara lain Yayasan Lengis Hijau di Denpasar, GenOil di Makassar, serta Artha Metro Oil di Sidoarjo, Jawa Timur. Bahkan, Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat telah sebelumnya mengusahakan minyak goreng bekas untuk produksi biodiesel sebagai bahan bakar bagi bus TransPakuan yang melayani transportasi dalam kota Bogor meskipun sejak tahun 2016 inisiatif tersebut sudah tidak lagi berjalan.
Selain sebagai bahan baku biodiesel, terdapat pula pihak-pihak yang mengusahakan minyak goreng bekas untuk tujuan lain seperti ekspor ataupun, secara ilegal, diolah dan dipasarkan kembali sebagai minyak goreng untuk konsumsi rumah tangga. Pasar ekspor sendiri menawarkan harga yang paling atraktif bagi pihak-pihak pengumpul minyak goreng bekas. Studi ICCT dan Koaksi Indonesia menyebutkan bahwa harga jual minyak goreng bekas di Indonesia kepada pihak eksportir dapat mencapai Rp 5000 – Rp Rp 7000, jauh diatas batasan harga yang masuk dalam skala keekonomian produsen biodiesel pada kisaran Rp 3000. Dengan begitu, kebanyakan pengumpul minyak goreng bekas memilih untuk menjual produknya kepada eksportir dibandingkan produsen biodiesel untuk penggunaan domestik.
Baca juga: What the Economic Effects of the Coronavirus will mean for Indonesia’s Biodiesel Energy Future
Selain harga beli minyak goreng bekas, produsen biodiesel juga menemui kendala terkait penjualan biodiesel dimana produk biodiesel harus bersaing dengan minyak solar dengan target konsumen yang sama di pasaran. Biodiesel dari minyak goreng bekas juga kerap kali harus bersaing dengan minyak solar bersubsidi yang tentunya memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan biodiesel. Terakhir, berbeda dengan biodiesel dari kelapa sawit, tidak ada kebijakan insentif yang diberikan bagi pengusaha biodiesel dari minyak goreng bekas sehingga beban finansial yang mereka tanggung menjadi sangat besar. Berbagai kondisi terkait harga ini secara umum menimbulkan iklim industri yang tidak kondusif bagi pengusaha biodiesel berbahan baku minyak goreng bekas.
Dengan adanya berbagai hambatan diatas, intervensi pemerintah untuk mendukung pengembangan minyak goreng bekas sebagai bahan baku biodiesel sangat dibutuhkan. Bentuk intervensi yang diperlukan antara lain adalah penetapan kebijakan terkait harga minyak goreng bekas di pasaran serta pemberian insentif bagi produsen biodiesel seperti yang diberikan pada produsen biodiesel dari kelapa sawit. Berbagai insentif ini perlu diberikan sehingga pengusaha biodiesel tidak perlu bersaing dalam soal harga dengan pihak-pihak eksportir dan mereka dapat menjual biodiesel hasil produksi dengan harga yang kompetitif di pasaran.
Pada akhirnya, usaha pemanfaatan minyak goreng bekas memiliki potensi pengembangan yang begitu besar dan sangat disayangkan apabila potensi tersebut tidak mampu diwujudkan kedepannya. Sinergi antara produksi biodiesel berbahan baku kelapa sawit dan minyak goreng bekas memungkinkan industri biodiesel nasional untuk tumbuh berkembang dengan pesat kedepannya. Oleh sebab itu, dukungan dan keberpihakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menangkap peluang pemanfaatan minyak goreng bekas untuk menunjang industri biodiesel Indonesia secara keseluruhan.
Baca juga: Kolaborasi Menjawab Tantangan Industri Biodiesel yang Lebih Berkelanjutan