Jakarta, Gatra.com – Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dianggap belum memiliki komitmen untuk menyelesaikan akar persoalan perubahan iklim.
Yakni penggundulan hutan, dan perusakan lahan gambut secara masif akibat masih buruknya tata kelola sektor hutan dan lahan di Indonesia.
Paslon nomor urut 02 itu dianggap belum mewujudkan niatan yang kuat dalam menangani perubahan iklim. Padahal dalam visi-misinya, keduanya, menyatakan akan berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim global sesuai kondisi Indonesia.
Temuan ini diungkap pada “Election Talk 2019: Membedah Visi-Misi Kandidat Presiden” yang digelar oleh Yayasan Madani Berkelanjutan di Kedai Tjikini, Jakarta, (29/11).
Yayasan Madani Berkelanjutan menyimpulkan hal ini setelah menganalisis dokumen “Empat Pilar Mensejahterahkan Indonesia: Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi”.
Dokumen ini diterbitkan oleh Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Koalisi Indonesia Adil Makmur, berisi jabaran visi dan misi yang kelak dilaksanakan keduanya jika terpilih sebagai pemimpin negeri pada Pemilu 2019 mendatang.
Meski begitu, Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi niat untuk memperbaiki lingkungan hidup yang dicantumkan pada dokumen tersebut, yakni rehabilitasi hutan rusak, lahan kritis, dan Daerah Aliran Sungai (DAS); serta moratorium Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang habis masa berlakunya.
Walau solusi-solusi yang ditawarkan berpotensi memperluas masalah ketimpangan penguasaan lahan dan laju ekspansi perkebunan monokultur, mengingat adanya komitmen untuk merehabilitasi hutan rusak menjadi hutan tanaman industri.
“Ini mengindikasikan bahwa pasangan Prabowo-Sandi belum memahami persoalan lingkungan hidup Indonesia secara tepat dan belum memiliki konsep membangun tanpa merusak,” ujar Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Di sisi lain. sebagai pengusaha, baik Prabowo Subianto maupun Sandiaga Uno turut menjalankan beberapa perusahaan di sektor perkebunan kelapa sawit, salah satunya PT Tidar Kerinci Agung milik Prabowo dan PT Provident Agro Tbk yang dipunyai Sandi.
Sayangnya, perbaikan tata kelola industri sawit nasional tidak menjadi perhatian, sedangkan di sisi lain isu perkebunan sawit berkelanjutan telah menjadi salah satu topik bahasan utama pemerintah Indonesia dan global, baik dalam konteks ekonomi, petani, dan lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Soelthon Nanggara, menegaskan, Pemerintah ke depan harus benar-benar memperhatikan keterbukaan informasi, dalam pengelolaan sumber daya alam.
Karena, publik tidak hanya butuh keterbukaan soal sistem perizinan, tetapi juga sistem monitoring dan evaluasi dampaknya. Keterbukaan harus menyeluruh: tidak sekadar informasinya, namun juga akses atas dokumen berikut dengan peta-petanya.
“Kemudian yang terpenting bukan aturan atau kebijakan keterbukaannya, melainkan bagaimana sebuah badan publik mengimplementasikan keterbukaan atas data dan informasi tersebut kepada publik,” kata Soelthon.
Sedangkan soal keterbukaan informasi, upaya mengatasi perubahan iklim global juga perlu diakselerasi dari sektor energi.
Direktur Finansial dan Operasional Koaksi Indonesia, Nuly Nazlia, memfokuskan pentingnya komitmen dari Presiden dan Wakil presiden terpilih untuk dengan menjadikan energi terbarukan dan pemanfaatan energi secara efisien sebagai pilihan pertama perencanaan ketenagalistrikan di Indonesia,
“Ke depan harus melalui kegiatan pemantauan dan evaluasi yang terukur dari hulu ke hilir sehingga tidak hanya memperhatikan kepentingan ekonomi semata tetapi juga mencakup kepentingan sosial dan lingkungan hidup,” kata Nuly.
Penulis: Mukhlison
Sumber: Gatra