
Menjajaki Jalan Panjang Kebijakan Hilirisasi Nikel untuk Penciptaan Pekerjaan Hijau
- Version
- Download 31
- File Size 1.62 MB
- File Count 1
- Create Date 26 Mei 2025
- Last Updated 4 Juni 2025
Menjajaki Jalan Panjang Kebijakan Hilirisasi Nikel untuk Penciptaan Pekerjaan Hijau
Ringkasan Eksekutif
Kebijakan hilirisasi nikel, yaitu upaya pemerintah Indonesia untuk mengolah nikel mentah menjadi produk akhir bernilai tambah lebih tinggi, tidak dapat dilihat semata-mata dari lensa teknokratis. Sejak ambisi hilirisasi dicanangkan, berbagai pemangku kepentingan menunjukkan reaksi yang beragam, menjadikan topik ini dinamis dan terus berkembang dalam ruang publik.
Memandang kebijakan hilirisasi nikel sebagai sebuah diskursus yang berkembang menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, analisis diskursus dapat memicu mekanisme cek fakta (fact check) untuk membandingkan narasi yang dominan dengan bukti nyata. Kedua, analisis diskursus penting untuk memetakan arah narasi utama (mainstream) yang berkembang terkait kebijakan hilirisasi nikel. Ketiga, analisis diskursus berguna untuk mengidentifikasi celah narasi atau topik-topik yang belum banyak terjangkau dalam diskursus yang ada.
Diskursus terkait kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia mencakup beberapa lapisan narasi, baik yang bersifat kritis terhadap dampak negatif hilirisasi nikel maupun yang mengapresiasi manfaat ekonomi dan strategisnya. Sejumlah laporan mengkritik penggunaan energi berbasis batu bara dalam proses pengolahan nikel, yang bertentangan dengan tujuan transisi energi bersih. Di sisi lain, beberapa literatur menyoroti nilai tambah ekonomi dari hilirisasi nikel dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, potensi strategisnya dalam rantai pasok kendaraan listrik, dan perannya dalam meningkatkan posisi geopolitik Indonesia di perdagangan internasional.
Studi ini bertujuan untuk memberikan analisis diskursus Pekerjaan Hijau atau Green Jobs dalam konteks kebijakan hilirisasi nikel dan transisi energi di Indonesia. Analisis ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru yang relevan untuk berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku industri. Adapun manfaat dari studi ini adalah sebagai pemetaan narasi, sebagai kontribusi pemahaman Pekerjaan Hijau, dan bahan advokasi transisi energi.
Kebijakan hilirisasi nikel merupakan bagian dari strategi Indonesia untuk memperkuat posisi ekonomi dan diplomatik yang dikaitkan dengan komitmen transisi energi bersih dan kebutuhan pengembangan industri baterai. Kebijakan hilirisasi nikel berperan sebagai pion strategis yang memberikan competitive advantage bagi Indonesia dalam percaturan geopolitik internasional, termasuk dalam menyeimbangkan kepentingan dua negara adidaya, yakni Amerika Serikat dengan upaya pembiayaan transisi energi bersih dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam kepentingan keamanan persediaan mineral kritis dan pengembangan industri baterai kendaraan listrik.
Strategi hilirisasi nikel yang mengacu kepada permintaan baterai EV memiliki risiko bisnis. Selain baterai berbasis litium semakin banyak dipakai di pasar Tiongkok, pasar Amerika Serikat serta Uni Eropa yang masih memakai baterai berbasis nikel pun akan sulit untuk dipenetrasi oleh nikel Indonesia karena berbagai hal. Dengan kata lain, momentum meningkatnya permintaan kendaraan listrik (EV) secara global seakan membuka jalan bagi Indonesia untuk mengoptimalkan peran strategisnya dalam rantai pasok EV global. Pada kenyataannya, permintaan kendaraan listrik (EV) dunia memang meningkat pesat, tetapi ada pergeseran signifikan dalam preferensi teknologi baterai terutama di Tiongkok yang semakin memakai baterai berbasis lithium, bukan nikel. Sementara itu, konsumen Amerika Serikat dan Uni Eropa memiliki standar keberlanjutan tertentu yang mungkin masih akan sulit dipenetrasi oleh nikel terproses Indonesia yang masih tergolong baru.
Sebagian besar produksi nikel Indonesia masih banyak menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) karena bergantung pada pembangkit listrik berbasis batu bara, khususnya captive power plants. Data menunjukkan bahwa dari sekitar 18 gigawatt (GW) rencana pengembangan captive batu bara, 13 GW dikhususkan untuk pengolahan mineral kritis. Proses pengolahan nikel yang menghasilkan emisi GRK tinggi menunjukkan bahwa sektor ini belum sepenuhnya selaras dengan prinsip keberlanjutan global.
Berbagai solusi teknis sebenarnya sudah tersedia untuk mendukung dekarbonisasi industri pengolahan nikel di Indonesia, tetapi biaya yang mahal masih menjadi penghambat adopsi secara luas. Adapun pilihan teknologi sumber energi bersih yang dapat digunakan mencakup panel surya (solar PV), sistem penyimpanan energi berbasis baterai elektrokimia (battery energy storage systems/BESS), pumped hydroelectric storage (PHES), dan pompa panas industri.
Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pengolahan dan pemurnian nikel menjadi perhatian serius banyak pihak karena memiliki implikasi jangka panjang, baik terhadap ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional. Negara-negara dengan standar environmental safeguards yang ketat, seperti Uni Eropa, dapat memandang produk nikel dari Indonesia sebagai risiko lingkungan yang tinggi, sehingga menurunkan daya saingnya.
Ekspor nikel olahan yang meningkat sebesar 435% antara tahun 2021 hingga 2023 tidak mencerminkan tren penurunan tingkat kemiskinan di kabupaten-kabupaten yang sejalan dengan peningkatan nilai ekspor. Hal ini mengindikasikan bahwa manfaat ekonomi dari hilirisasi belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat lokal, terutama kelompok rentan yang berada di sekitar wilayah tambang.
Hasil konsultasi dengan pemangku kepentingan menunjukkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel mendapat dukungan dari masyarakat lokal, namun pekerjaan tradisional dirasakan semakin menghilang. Akibat adanya pengolahan dan pemurnian nikel, masyarakat yang sebelumnya bergantung pada perekonomian subsistens (subsistence economy) kini memiliki peluang baru, seperti membuka usaha kos-kosan atau terlibat dalam sektor ekonomi lain yang terkait dengan industri nikel. Namun, sektor-sektor primer seperti pertanian dan kehutanan, yang sebelumnya menjadi tulang punggung ekonomi lokal, mengalami penurunan signifikan.
Studi literatur dan hasil konsultasi dengan pemangku kepentingan juga menyoroti dampak kesehatan yang signifikan dari aktivitas tambang dan pengolahan nikel. Dampak ini dirasakan baik oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tambang maupun oleh pekerja yang terlibat langsung dalam proses pengolahan. Aspek perlindungan pekerja untuk pengolahan dan pemurnian nikel dianggap masih rendah.
Penelitian tentang Pekerjaan Hijau (Green Jobs) di Indonesia masih tergolong minim. Sering kali, definisi dan metode pengukuran “Hijau” mengacu pada ruang lingkup yang ditentukan oleh para peneliti sendiri atau mengacu kepada interpretasi definisi yang disusun oleh lembaga internasional. Di ranah masyarakat sipil, diskursus terkait Pekerjaan Hijau di Indonesia sering kali dikaitkan dengan advokasi kepada pemerintah untuk meningkatkan bauran energi terbarukan.
Dalam diskursus Pekerjaan Hijau, terdapat dinamika yang kompleks antara kebutuhan akademis untuk memperkuat basis pengetahuan terkait definisi dan ruang lingkup Pekerjaan Hijau dan kebutuhan praktis untuk mendorong perubahan kebijakan yang konkret. Secara umum, penelitian dan diskursus publik tentang Pekerjaan Hijau di Indonesia menunjukkan pola yang serupa dalam pendekatannya, yakni mendefinisikan dan membatasi sendiri ruang lingkup konsep green jobs oleh penulis atau pembuat narasi. Namun, perbedaannya terletak pada tujuan akhirnya—beberapa ditujukan untuk kepentingan penelitian ilmiah, sementara yang lain berorientasi pada mendukung agenda advokasi kebijakan.
Berdasarkan konsultasi pemangku kepentingan dalam studi ini serta mengacu kepada definisi Pekerjaan Hijau ILO dan UNEP, industri pengolahan nikel di Indonesia saat ini belum dapat dikategorikan sebagai green maupun decent. Oleh karena itu, proyeksi berbasis bukti terkait jumlah Pekerjaan Hijau (Green Jobs) yang dapat diciptakan oleh industri pengolahan nikel di Indonesia masih perlu melalui perjalanan panjang, yang berada di luar ruang lingkup studi ini. Perjalanan tersebut mencakup transformasi output dan proses industri agar pekerjaan dalam industri tersebut dapat dikategorisasikan sebagai “Hijau”. Hal ini juga menandakan pentingnya transformasi kebijakan dan praktik dalam industri nikel untuk menciptakan pekerjaan yang benar-benar memenuhi kriteria Pekerjaan Hijau.
Studi ini menyarankan dua langkah holistik untuk mendukung penciptaan Pekerjaan Hijau. Sejalan dengan definisi Pekerjaan Hijau ILO dan UNEP, perlu upaya Pemerintah untuk meningkatkan output industri dan proses pekerjaan dalam industri tersebut supaya lebih “Hijau”. Lalu, Pemerintah juga perlu memperkuat kebijakan untuk penguatan jaminan sosial pekerja.
Studi ini memberikan lima rekomendasi utama agar pemerintah dapat mendukung penciptaan Pekerjaan Hijau dalam konteks kebijakan hilirisasi nikel. Rekomendasi tersebut berhubungan dengan penguatan koordinasi, penciptaan skema insentif dan disinsentif, persiapan industri turunan nikel yang berkelanjutan, penciptaan roadmap peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), dan penguatan perlindungan untuk pekerja.
Studi ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi untuk industri pertambangan dan pengolahan nikel. Pertama, jadikan investasi berkelanjutan sebagai nilai bisnis, karena penyelarasan operasi bisnis dengan prinsip keberlanjutan akan meningkatkan nilai tambah. Lalu, tingkatkan kolaborasi multipihak baik dengan pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil sekitar. Terakhir, menimbang suplai nikel Indonesia yang terbatas, industri perlu merencanakan strategi keluar atau exit strategy yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Terdapat beberapa langkah strategis dari studi ini yang dapat berguna bagi organisasi masyarakat sipil (OMS). Pertama, perkuat kolaborasi pembentukan narasi. Dengan koordinasi lebih kuat, OMS dapat membangun narasi publik yang lebih solid dan berbasis data. Kedua, ciptakan narasi Pekerjaan Hijau karena masih terdapat ruang besar untuk isu ini agar dapat diadvokasi oleh OMS. Ketiga, perkuat dukungan di tapak. Selain advokasi di tingkat pusat atau nasional, penting bagi OMS untuk memperkuat pengetahuan dan kapasitas aktor-aktor akar rumput di daerah. Dalam implementasinya, aktor di tingkat tapak memiliki posisi strategis sebagai pengawas (watchdog) yang paling efektif dalam memantau kebijakan hilirisasi nikel.
Tim Penulis:
Brurce M. Mecca
Muhammad Ridwan Arif
ISBN:
(masih dalam proses)
Attached Files
File | Action |
---|---|
Menjajaki Jalan Panjang Kebijakan Hilirisasi Nikel untuk Penciptaan Pekerjaan Hijau [new link].pdf | Download |