SURYA.co.id | JAKARTA – Solusi buruknya kualitas udara Jakarta saat ini, sebenarnya berpulang kepada komitmen Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, mengingat kualitas udara sehat menjadi hak konstitusional setiap warganegara.
Hal itu terungkap Dalam diskusi publik bertajuk “Kualitas Udara dan Energi,” diselenggarakan Koaksi Indonesia di Jakarta, Kamis malam (15/8/2019).
Berbagai solusi mengemuka dalam diskusi salah satunya menghadirkan Adila Isfandiari, Climate and Energy Researcher Greenpeace Indonesia tersebut.
Menurut Adila harus dilakukan inventarisasi emisi yang terbesar, dan juga melihat parameter apa yang mereka pergunakan.
“Demikian juga lokasi keberadaan, seperti industri yang kebanyakan berada di luar wilayah DKI Jakarta, apakah langsung berpengaruh ke DKI Jakarta. Bagaimana dengan kendaraan bermotor bernomor polisi di luar DKI seperti Tangerang dan Bekasi yang juga masuk melintas di DKI Jakarta. Tidak hanya itu saja, pembangkit listrik yang ada juga berlokasi di luar Jakarta, atau jauh dari pusat kota Jakarta. Keberadaan pembangkit listrik dengan batubara (PLTU) milik PLN itu, tidak hanya terletak di luar kota, tetapi juga jauh dari potensi menyebarkan polusi.
Karena itu perlu ditilik lagi sumbernya disebabkan oleh apa saja, seperti misalnya pembakaran sampah. Selain itu perlu dipertimbangkan di sini, kebijakan apa yang diambil terkait hal tersebut,” jelasnya.
Sedang Azis Kurniawan, Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia dalam kesempatan tersebut mengemukakan, Gubernur DKI yang mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 66 tahun 2019 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengendalian Kualitas Udara Jakarta, sekaligus memerintahkan semua gedung milik Pemerintah Daerah akan dipasangi PLTS Rooftop.
Diketahui terkait kampanye penggunaan listrik surya atap dalam pernyataan persnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi saran kepada badan usaha, pemerintah daerah, dan masyarakat mulai memanfaatkan atap gedung memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Rooftop (Atap).
Selain itu Pemda DKI juga segera mengikuti arahan Menteri ESDM tersebut. Targetnya tahun 2022 pemasangan PLTS Rooftop akan selesai di DKI.
Sementara Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Tanpa Timbal Ahmad Safrudin (Puput) mengatakan, “Upaya lain menekan emisi gas buang dari kendaraan bermotor salah satunya melalui uji emisi.”
Dia menyebut aturan uji wajib uji emisi yang saat ini menjadi bagian dari Insgub No. 66 tahun 2019, beberapa tahun sebelumnya sudah ada dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Yang belum dilaksanakan adalah implementasinya, karena dalam peraturan lama tersebut, dikatakan Ahmad, kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan.
“Kendaraan bermotor juga wajib menjalani emisi sekurang-kurangnya setiap enam bulan. Sedangkan kendaraan yang lulus uji emisi akan mendapat tanda lulus uji emisi,” paparnya.
Sementara dalam aturan baru tercantum keinginan Pemda DKI, agar uji emisi dilakukan untuk semua jenis kendaraan pada tahun 2020, bersamaan dengan perpanjangan STNK. Nantinya uji emisi akan menentukan, apakah STNK kendaraan tersebut dapat diperpanjang akan terintegrasi dengan sistem perparkiran.
Pengendalian Pencemaran Udara dan Penggunaan Energi Terbarukan
Sejalan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kendati pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang tidak akan habis, baru berkontribusi sebesar 13% dalam bauran energi nasional, namun dalam RUEN telah ditetapkan, Pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan energi penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri. Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang mencapai 13%, di tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% di tahun 2050.
Sedang menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim, penggunaan bahan bakar pembangkit listrik di dalam negeri turut berpengaruh terhadap kecepatan mengatasi terjadinya pemadaman listrik secara mendadak.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi Sumatera Barat ini juga menyoroti soal penggunaan bahan bakar pembangkit listrik.`
Menurutnya jika bahan bakar pembangkit listrik itu berupa air atau sinar matahari, maka pembangkit listrik tersebut bisa bangkit atau hidup lagi dalam tempo sekitar 30 menit hingga satu jam setelah down.
“Namun, jika bahan bakarnya adalah batu bara, maka setidaknya dibutuhkan waktu dua jam untuk bisa menghidupkan lagi pembangkit listrik tersebut,” paparnya.
Sedang kalau penggunaan bahan bakar berupa batu bara, air, gas dan tenaga surya masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.
Untuk batu bara, harganya murah dan pasokannya di dalam negeri cukup aman. Namun kekurangannya memang emisinya lebih tinggi dan agak lamban dalam merespon pemadaman listrik.
Sedang bahan bakar air, harganya cukup mahal dan kontinuitas pasokannya tidak bisa terjamin sepanjang tahun karena adanya musim kemarau, dimana debit air yang masuk akan berkurang.
“Kelebihan dari tenaga air adalah kadar emisinya rendah dan lebih cepat merespon,” ujar Herman.
Sumber: Tribunnews.com
Penulis: Yoni
Editor: Parmin