Upaya pelestarian hutan, khususnya hutan adat akan menambah kebermanfaatan dari aspek sosial, ekonomi, maupun ekologis bagi masyarakat. Menengok dari praktik cerdas pelestarian Hutan Adat Wundut dengan menjaga fungsi ekologisnya dari hulu yang kemudian berdampak bagi desa di bawahnya hingga hilir sungai. Salah satunya adalah Desa Tanggedu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
KOAKSI INDONESIA—Melalui agenda rutin tahunan, koalisi yang tergabung dalam Suara Aksi Perubahan Iklim Berkeadilan (Voices Just for Climate Action/VCA) pada tanggal 3–8 Februari 2024, Koaksi Indonesia berkesempatan untuk mengunjungi salah satu desa mitra di Sumba Timur, yakni Desa Tanggedu.
Desa Tanggedu terletak di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa yang menjadi salah satu destinasi wisata di Kabupaten Sumba Timur ini berjarak 46 kilometer dari utara Kecamatan Waingapu.
Menurut Kepala Desa Persiapan Tanggedu, Kabula Hara Endi, saat ini Desa Tanggedu masih merupakan desa persiapan menuju desa definitif. Status desa yang masih bernaung di bawah nama Desa Mondu ini sedang menjalani proses panjang untuk merealisasikan status sebagai desa wisata.
Objek wisata di Desa Tanggedu yang terkenal adalah panorama bentang alam yang berbukit-bukit serta air terjun dengan relief batu yang unik. Akan sangat disayangkan jika masyarakat sekitar tidak melakukan pengelolaan sebagai desa wisata. Oleh karena itu, masyarakat bekerja sama untuk mempersiapkan Desa Tanggedu sebagai desa wisata, dengan membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kakaruk Loku.
Berkolaborasi dengan Yayasan Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya (Koppesda) dari koalisi VCA, proses advokasi berjalan cukup pelik karena berhubungan dengan beberapa komunitas, seperti pemuda, masyarakat adat, tokoh perempuan, dan tokoh-tokoh adat serta pemilik lahan. Pendekatan dilakukan untuk memberikan pemahaman bahwa objek wisata ini adalah potensi bersama, bukan hanya milik pemerintah.
Menurut Kabula Hara Endi, sudah sejak 2014–2015 masyarakat bersama-sama menginisiasi pengelolaan objek wisata air terjun. Hingga akhirnya air terjun ini sempat booming, kemudian masyarakat mulai meningkatkan fasilitas dengan pemasangan tali untuk pegangan turun ke air terjun serta memperbaiki akses jalan untuk kendaraan roda dua dan empat.
Baca Juga: Siasat Energi Terbarukan di Desa Air Tenam Sebagai Alat Pemanfaatan Potensi Desa
“Proses advokasi kami berjalan sejak 2018, apabila tidak ada kebijakan yang mengatur terkait pengelolaan objek wisata ini, takutnya akan terjadi pungli, dan malah akan menjauhkan wisatawan,” tambah Hara Endi.
Hingga pada bulan Mei 2022 silam, bagai sebuah angin segar bagi masyarakat sebab keberadaan Air Terjun Kakaruk Loku atau biasa dikenal dengan Air Terjun Tanggedu akhirnya resmi disahkan sebagai Objek Wisata Alam dalam Peraturan Desa Mondu Nomor 05 Tahun 2022.
Berkat pengelolaan objek wisata ini, masyarakat mendapatkan banyak keuntungan. Penambahan sarana prasarana, seperti jembatan gantung, tangga turun ke air terjun, kamar mandi, dan WC, dibangun oleh Kementerian Desa dengan total dana Rp 500.000.000. Pada tahun 2023, kontribusi dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tanggedu bahkan membantu membayar pajak beberapa warga yang mengalami kesulitan ekonomi.
“Adanya Perdes membuat pengelolaannya menjadi lebih mudah, pembagian hasil 60% untuk masyarakat dan sisanya untuk desa (Bumdes) dan Bappeda Rius. Selain itu, hasil pengelolaan objek wisata diarahkan kepada pemilik lahan, yang bersedia menyediakan lahan untuk parkiran dan akses ke air terjun,” ujar Hara Endi.
Beruntungnya bagi wisatawan, dengan adanya Perdes maka telah disepakati tarif masuk objek wisata sebesar Rp 10.000/orang dan tidak akan ada pungutan liar (pungli).
“Tarif yang kami sepakati bersama pemerintah desa, masyarakat, Dinas Pariwisata adalah Rp 250.000/paket (prewed & shooting). Namun karena ada pro dan kontra dari daerah, tarif yang diberlakukan normal saja Rp 10.000/orang, tarif khusus prewed & shooting tidak diberlakukan lagi,” ujar Melvi Pombu Henggu Ndapatamu, Wakil Ketua Pokdarwis.
Kebermanfaatan Upaya Pelestarian Hutan bagi Setiap Pihak
Desa Tanggedu merupakan desa kecil yang hanya memiliki 300 penduduk dengan 110 Kepala Keluarga (KK). Sekitar 15 KK penganut agama kristen, sehingga sisanya sebagian besar masih menganut kepercayaan dan nilai adat setempat.
Keindahan alam dan jernihnya Air Terjun Tanggedu tidak dapat dipisahkan dari upaya pelestarian hutan adat di Kampung Adat Wundut, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur. Hutan Adat Wundut dijaga kelestariannya sebagai wujud niat budaya masyarakat setempat. Setiap tahunnya, masyarakat merayakan kebersamaan dengan alam melalui ritual pengukuhan hutan, pengukuhan padang penggembalaan, dan pengukuhan mata air.
Kris, seorang penjaga Hutan Adat Wundut, menyampaikan bahwa ritual pengukuhan hutan dilakukan jika dilihat hutan itu rusak. Misalnya terjadi kebakaran hutan, masyarakat adat akan mengajak semua untuk masuk ke hutan dan melakukan penanaman pohon. Ritual bukan hanya tanda terima kasih kepada alam, melainkan juga sebagai simbol kesepakatan dengan unsur alam.
“Untuk mengantisipasi bentuk pencurian dan perusakan hutan, masih diberlakukan sumpah adat. Bahwasannya yang mengambil hasil hutan kayu dan melakukan pembakaran, akan disambar petir atau terkena patok ular. Di wilayah mata air juga sama, ada sumpah mata air, yang memberikan kesialan bagi siapa saja yang merusak keasriannya,” tambah Kris.
Baca Juga: MotoGP di Mandalika Dongkrak Peluang Pariwisata Indonesia
Adanya aturan adat yang mengikat, membuat masyarakat lebih peduli untuk turut melestarikan hutan. Masyarakat juga meyakini bahwa menjaga keberlanjutan hutan akan memberikan banyak manfaat serta sebagai warisan bagi generasi mendatang.
Pesona Atraksi Tanggedu
Terkait pemandangan alam di Desa Tanggedu, kita akan disuguhi panorama pegunungan dan perbukitan hijau di sepanjang jalan. Akses jalannya sudah sangat baik sehingga dapat dilalui kendaraan besar beroda empat. Namun, usahakan untuk memperhatikan cuaca sebelum bepergian karena kondisi jalan yang masih terjal dan berliku akan berbahaya jika dilalui saat hujan.
Untuk mencapai objek air terjun, kita harus berjalan kaki sekitar 3 km dari areal parkir yang disediakan. Jika tidak ingin berjalan kaki, dapat juga menyewa ojek motor untuk mencapai lokasi. Jalan setapak yang dilalui sudah dibeton sehingga memudahkan akses selama perjalanan. Ada beberapa fasilitas seperti jembatan besi dan pemandangan rumah adat milik masyarakat sekitar yang masih dilestarikan. Dapat dilihat juga di beberapa rumah terdapat solar panel kecil sebagai sumber energi listrik.
Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, kita akan sampai di titik kumpul sebelum turun ke air terjun. Terlihat jelas pemandangan gunung dan perbukitan hijau yang menjadi daya tarik utama.
Sebelum mencapai objek wisata Air Terjun Tanggedu, kita akan melewati beberapa tangga sebagai pijakan dan pegangan untuk turun. Menurut Melvi, pengurus Pokdarwis Tanggedu, tangga ini baru tersedia dari tahun 2021. Jumlah anak tangganya berkisar 250, dengan kanan-kiri tangga penuh dengan vegetasi, sehingga tetap harus berhati-hati melewatinya karena kondisi yang cukup curam.
Perjalanan lama yang melelahkan itu terbayar sudah dengan penampakan air terjun yang memesona. Air terjun dengan warna biru kehijauan dan dikelilingi oleh relief batu putih berbentuk unik. Air terjun ini memang tidak terlalu tinggi, namun arus airnya cukup besar sehingga ada beberapa spot yang tidak diperbolehkan untuk digunakan mandi. Jika ingin bermain air disarankan pada areal tertentu, di bagian atas dengan kedalaman yang lebih dangkal.
Urun Rembuk Pengembangan Potensi Desa
Keberlanjutan pengelolaan wisata ini tidak dapat dipisahkan dari peran masyarakat sekitar. Bersama-sama mengembangkan potensi desa ini sebagai sebuah pelestarian adat sekaligus dapat mendatangkan keuntungan ekonomi sebagai objek wisata. Kendala terbesar sebagai desa persiapan adalah verifikasi dokumen yang memakan waktu, menjaga nilai keaslian budaya, dan pengembangan infrastruktur.
Berbicara terkait pelestarian Hutan Adat Wundut, Koaksi Indonesia melalui film “Climate Witness 2023” telah mendokumentasikan proses pelestarian adat tersebut dengan pemuka adat, Lunggi Rangga sebagai narasumbernya.
“Masyarakat Tanggedu pada umumnya petani. Karena gagal panen, kami akhirnya bekerja sebagai pemandu wisata dan pengemudi ojek. Pekerjaan ini sebagai alternatif buat kami dan sangat membantu,” ujar Melvi.
Dalam diskusi yang diadakan, anak muda berperan banyak dalam persiapan desa wisata, mereka bertindak sebagai pemandu dan pengemudi ojek motor yang mengantarkan wisatawan serta membantu pengelolaan objek wisata dengan semua pihak yang mendukung kemajuan wisata ini.
Untuk meningkatkan kualitas objek wisata, beberapa saran diajukan, termasuk pengembangan infrastruktur desa, penataan organisasi, dan penambahan atraksi wisata sehingga lebih menarik.
Baca Juga: Kisah Patriot Energi I: Pendampingan di desa Longgosipi, Sulawesi Tenggara
“Salah satu tujuan dari berwisata adalah untuk mencicipi makanan daerahnya, sehingga alangkah menariknya jika ada penambahan tempat yang menjual makanan lokal di sini,” usul Imroatul Mukhlisoh dari Koalisi Pangan Baik.
Brian dari Koalisi Pangan Baik juga mengusulkan untuk pemberian papan petunjuk terkait Informasi mengenai tempat mandi yang diperbolehkan. Selain itu, pengembangan atraksi dengan menambahkan kegiatan seperti perjalanan dengan kuda, penyewaan kain tradisional, dan penyediaan makanan lokal dapat menambah daya tarik objek wisata Air Terjun Tanggedu.
Desa Tanggedu, dengan segala keunikan dan potensinya, menjadi contoh sebuah desa kecil yang dapat mengembangkan potensi ekowisata secara berkelanjutan. Melalui kerja sama antara masyarakat, pemangku kepentingan, dan lembaga terkait, Air Terjun Tanggedu bukan hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga kawasan yang menjaga keaslian budaya dan keberlanjutan alam.