Sektor industri berperan krusial bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, industri juga menghasilkan emisi yang signifikan. Oleh karena itu, dekarbonisasi industri menjadi keniscayaan.
KOAKSI INDONESIA—Peran penting sektor industri dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat dari kontribusi sektor ini terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sektor industri manufaktur (pengolahan) sejak 2021 hingga triwulan II tahun 2024 menjadi sektor penyumbang tertinggi terhadap PDB Indonesia. Data Indonesia.go.id menunjukkan pada triwulan II tahun 2024, sektor ini berkontribusi 18,52% terhadap PDB, meningkat dari 18,26% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Dampak positif lain sektor industri adalah dapat menyerap banyak tenaga kerja, sehingga mengurangi tingkat penggangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menunjukkan proporsi tenaga kerja pada sektor industri manufaktur pada 2022 mencapai 14,17%.
Selain itu, industrialisasi memproduksi barang secara besar-besaran, sehingga harganya dapat turun. Industrialisasi juga memerlukan pekerja dengan berbagai spesialisasi, sehingga menciptakan lebih banyak peluang kerja. Dengan kata lain, sektor industri (pengolahan) menjadi motor penggerak ekonomi nasional.
Mengapa Dekarbonisasi di Sektor Industri Harus Dilakukan?
Sektor industri menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang terbilang besar. Secara global, data Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB (Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC]) 2023 menunjukkan emisi dari sektor industri sebesar 24% menempati urutan kedua terbesar pada 2019. Sementara itu, di Indonesia, emisi dari industri diperkirakan menyumbang tiga perempat dari total emisi Indonesia pada 2019. Angka ini berpotensi akan melonjak dua kali lipat pada tahun 2030, sebagaimana dilansir dari WRI.
Salah satu GRK, karbondioksida, dihasilkan dari aktivitas manusia seperti industri. Makin banyak aktivitas manusia makin banyak GRK yang dilepaskan ke atmosfer. GRK yang menumpuk di atmosfer akan memerangkap panas matahari, sehingga suhu bumi naik.
Kenaikan suhu bumi menyebabkan perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan cuaca ekstrem dan peningkatan kejadian bencana yang merugikan manusia. Oleh karena itu, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, telah mengikatkan diri dalam Perjanjian Paris yang mulai berlaku pada 4 November 2016.
Setelah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), Indonesia menyatakan komitmennya dalam Dokumen Nationally Determined Contributions (NDC)–nya. Isi komitmen itu adalah mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 31,89% atas usaha sendiri dan sebesar 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030.
Baca Juga: Apa Itu NDC dan Dampaknya terhadap Krisis Iklim
Tujuan utama Perjanjian Paris, sebagaimana dikutip dari United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC), adalah menjaga peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat praindustri dan mengupayakan untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat praindustri.
Penetapan ambang batas 1,5°C berdasarkan catatan IPCC menunjukkan melampaui ambang batas 1,5°C berisiko menimbulkan dampak perubahan iklim yang jauh lebih berat, seperti kekeringan, gelombang panas, serta curah hujan yang lebih sering dan parah. Kondisi itu pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi serius terhadap keamanan pangan dan air, stabilitas ekonomi, dan perdamaian internasional.
Jumlah emisi sektor industri yang besar ini tentu menimbulkan dampak negatif yang juga besar. Oleh karena itu, industri sudah seharusnya melakukan dekarbonisasi. IPCC menyatakan kemajuan menuju emisi nol bersih dari industri dimungkinkan melalui penerapan proses produksi baru menggunakan listrik, hidrogen, bahan bakar, dan pengelolaan karbon yang rendah emisi.
Dekarbonisasi Industri Menjadi Tuntutan Global
Lanskap bisnis global telah memberlakukan syarat perdagangan ramah lingkungan dengan sangat ketat. Misalnya, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) yang merupakan mitra penting bagi Indonesia. Kompas menyatakan UE telah mengesahkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang memberlakukan tarif tambahan pada produk-produk yang mengandung emisi karbon tinggi. Sementara AS memberlakukan Inflation Reduction Act of 2022 (IRA) yang memberikan insentif sangat menarik kepada para investor teknologi ramah lingkungan.
Masih dari sumber yang sama. Perusahaan-perusahaan multinasional pun menyikapi positif kebijakan tersebut. Misalnya, Renewable Energy 100 (RE100) dan Fashion Industry Charter for Climate Action. Kedua pakta ini memiliki keterkaitan langsung dengan Indonesia.
RE100 adalah kesepakatan global yang ditandatangani oleh 387 perusahaan multinasional dan berlaku di negara-negara tempat perusahaan-perusahaan itu beroperasi, termasuk Indonesia. Kewajiban yang mengikat anggota RE100 ini adalah menggunakan energi terbarukan secara bertahap, yaitu 60% di 2030, 90% di 2040, dan 100% di 2050.
Baca Juga: Sustainable Beauty: Tampil Cantik sembari Melestarikan Bumi
Sementara itu, Fashion Industry Charter for Climate Action adalah kesepakatan yang telah ditandatangani oleh hampir semua perusahaan prinsipal (principal company) pemegang merek-merek besar dunia, seperti LVMH, H&M Group, Levi Strauss & Co, Gap Inc, Nike, dan Inditex Group yang mengikat para pemasok, termasuk Indonesia.
Tuntutan global untuk melakukan dekarbonisasi industri juga terlihat dari The Climate Pledge. Komitmen untuk mencapai target emisi karbon nol bersih pada tahun 2040 ini telah ditandatangani oleh 58 industri terkemuka dunia, 45 negara, dan 15,33 juta karyawan.
Semua perjanjian dan komitmen itu berbicara dengan jelas bahwa industri negara kita harus mampu menunjukkan penerapan praktik-praktik hijau dalam proses industrinya. Penerapan praktik-praktik itu menjadi pembuktian komitmen kita memenuhi tuntutan global terhadap pengurangan emisi. Dengan demikian, negara kita tidak ditinggalkan.
Transisi Energi, Satu Cara Penurunan Emisi Industri
Data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menunjukkan penggunaan energi di industri menyumbang 64% dari total emisi sektor industri. Konsumsi energi fosil sektor industri hampir 80% dari total konsumsi dalam negeri (Kompas, 2022). Oleh karena itu, transisi energi harus dilakukan di sektor industri, mengganti penggunaan energi fosil dengan energi terbarukan.
Indonesia Energy Transition Outlook 2024 mengemukakan beberapa tren dan transformasi di sektor industri.
- Memastikan ketersediaan energi untuk industri dengan mendorong strategi energi terbarukan dan elektrifikasi.
- Peralihan ke bahan bakar bersih bioenergi dan transisi ke elektrifikasi merupakan salah satu strategi dekarbonisasi menuju industri hijau.
- Diperlukan regulasi yang mengikat, setidaknya kolaborasi tiga Kementerian, yaitu Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
- Sebagai salah satu industri penghasil emisi tinggi, industri semen mengatasi masalah ini dengan mengganti batu bara dengan bahan bakar rendah karbon, seperti biomassa, refuse derived fuel (RDF), dan elektrifikasi yang didukung oleh tenaga surya fotovoltaik atau jaringan listrik nasional.
- Penggunaan biomassa dalam industri semen (salah satu penghasil emisi tertinggi) telah meningkatkan thermal substitution rate (TSR) yang dapat menurunkan emisi. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan ketersediaan suplai biomassa domestik yang berkelanjutan dan dapat dipercaya. Kepastian ini diperlukan mengingat harga biomassa dalam negeri yang cenderung lebih tinggi daripada batu bara untuk jumlah energi yang sama dan kecenderungan pelaku industri untuk mengekspor biomassa karena harga ekspor yang lebih menguntungkan.
- Untuk mengurangi emisi dari proses produksi dan penggunaan produk (IPPU), industri besi dan baja diharuskan untuk beralih dari tungku pembakaran basic oxygen furnace (BOF) ke tungku pembakaran electric arc furnace (EAF) atau BOF dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage [CCS]/carbon capture utilization and storage [CCUS]). Direkomendasikan juga untuk mengalihkan bahan bakar dari batu bara ke biomassa atau energi terbarukan lainnya untuk BOF.
- Melakukan efisiensi energi dan transisi ke amonia dengan emisi karbon rendah. Sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi, teknologi produksi amonia menggunakan hidrogen hijau yang didukung oleh listrik bersumber energi terbarukan sedang dikembangkan bersamaan dengan rencana untuk menangkap emisi CO2 melalui teknologi CCS/CCUS. Apabila implementasi teknologi ini berhasil, kemungkinan akan mempercepat transisi menuju dekarbonisasi di berbagai sektor, termasuk transportasi dan industri.
Selain itu, elektrifikasi dalam dekarbonisasi industri harus dipastikan bersumber dari energi terbarukan, bukan dari bahan bakar fosil. Apabila bersumber dari bahan bakar fosil seperti batu bara, sekalipun telah dikonversi menjadi energi listrik akan tetap menghasilkan banyak emisi.
Proses penting lainnya di industri yang menjadi sumber emisi, selain elektrifikasi (kelistrikan) adalah penggunaan bahan bakar untuk boiler. Setiap industri membutuhkan boiler, yaitu perangkat untuk menghasilkan uap atau panas dalam jumlah besar. Uap atau panas inilah yang digunakan untuk pemanasan, pembangkit listrik, penggerak mesin, sterilisasi, dan berbagai keperluan dalam proses produksi.
Namun, dilansir dari katadata.co.id, bahan bakar yang digunakan untuk boiler berasal dari batu bara. Oleh karena itu, dekarbonisasi industri sudah seharusnya menggunakan sumber panas yang juga berasal dari energi terbarukan atau energi hijau.
Melakukan dekarbonisasi industri tidak hanya menguntungkan secara ekonomi. Dekarbonisasi industri juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris dan pencapaian target emisi nol bersih (net zero emission [NZE]) Indonesia pada tahun 2060.