Jakarta, 22 Juni 2024 – Bertempat di Kineforum Ruang Sjuman Djaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia menyelenggarakan rangkaian acara dialog nasional dan peluncuran film “Climate Witness”. Acara ini merupakan upaya dari VCA Indonesia untuk menggaungkan berbagai solusi untuk krisis iklim di tingkat tapak.
Acara dibuka dengan sambutan dari Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial, Tunggal Pawestri. Dalam sambutannya, Tunggal menekankan pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam mencari berbagai solusi krisis iklim untuk memastikan adanya kebijakan yang berkeadilan dan inklusif.
“Krisis iklim telah menjadi perhatian global. Melalui peluncuran film “Climate Witness” dan dialog nasional hari ini, kita harapkan menjadi ruang diskusi untuk mempertajam keadilan iklim dan menemukan cara-cara terbaik mendorong transisi energi yang adil dan inklusif,” ujarnya.
Dalam dialog nasional bertema ”Cerita dan Aspirasi Kelompok Masyarakat Marginal dan Informal dalam Transisi Energi yang Berkeadilan” ini, para narasumber membahas rencana transisi energi di Indonesia. Salah satunya adalah rencana pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) I Cirebon pada 2035 dan akses energi terbarukan di Pulau Sumba.
Untuk rencana baik tersebut perlu ada mitigasi, khususnya kepada para pekerja dan masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan informal di sekitar PLTU. Ataupun kepada kelompok perempuan dan nelayan sebagai anggota masyarakat di sekitar PLTU yang paling terkena dampak negatifnya
Salah satu narasumber dialog nasional, Aan Anwaruddin dari Rakyat Peduli Lingkungan Cirebon, menyatakan kegembiraannya ketika mendengar rencana penutupan PLTU I Cirebon. Menurutnya, kehadiran PLTU selama ini memberikan lebih banyak dampak buruk bagi warga ketimbang manfaatnya.
Merespons pernyataan tersebut, Andi Yulianti Ramli, ST, M.Sc, M.Phil, PhD, Asisten Deputi Industri Pendukung Infrastruktur Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi mengatakan bahwa biaya transisi energi itu besar. Misalnya, biaya transisi PLTU mencapai 1,2 miliar dolar. Da menekankan bahwa transisi energi yang paling baik adalah dengan mendorong elektrifikasi kendaraan.
“Kalau bicara perubahan iklim, sumber terbesarnya dari transportasi berbahan bakar berbasis minyak bumi yang sekarang ini kebanyakan dari impor dan mengandalkan subsidi besar dari pemerintah,” katanya.
Cerita lain datang dari Pulau Sumba yang merasakan dampak baik hadirnya energi terbarukan. Mulai dari mampu meningkatkan produktivitas di lahan pertanian, mendukung kebutuhan sehari-hari warga, hingga terbukanya akses lapangan kerja baru bagi para pemuda sebagai operator untuk pemasangan dan perawatan panel-panel surya.
Peluncuran Film “Climate Witness”
Pemutaran empat film dokumenter pendek yang bertema “Climate Witness” menjadi acara utama dalam rangkaian acara ini. Keempat film tersebut menceritakan berbagai aksi yang dilakukan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur dalam merespons dan beradaptasi dengan krisis iklim yang terjadi saat ini.
Produser “Climate Witness”, Ridwan Arif yang juga Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, mengatakan bahwa “Climate Witness” hadir untuk mengamplifikasi dan menggaungkan suara masyarakat yang selama ini terdampak krisis iklim, namun memiliki berbagai solusi berbasis kearifan lokal mereka.
“Semangat dari film ini adalah menyebarkan kisah-kisah inspiratif masyarakat dalam beradaptasi dengan krisis iklim. Film ini juga sebagai bentuk apresiasi kepada para tokoh yang sudah melakukan aksi nyata dalam menjaga lingkungan hidup mereka,” ujarnya.
Setelah pemutaran film, diadakan diskusi yang menghadirkan tiga narasumber, yaitu Arti Indallah, perwakilan Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial dan VCA Indonesia serta Maria Mone Soge dan Klemens Heka Hayon dari NTT yang merupakan dua dari empat tokoh di film “Climate Witness”.
Kedua tokoh tersebut menceritakan latar belakang aksi iklim yang mereka lakukan di wilayah masing-masing. Setelah melalui proses yang panjang, aksi iklim yang mereka lakukan itu berdampak baik bagi tempat tinggal mereka, lingkungan mereka, dan bagi bumi.
“Di Larantuka, makin banyak anak muda yang sekarang ikut bergerak untuk melakukan aksi iklim dan terus melakukan edukasi ke masyarakat,” ujar Klemens Heka Hayon.
Melalui komunitas-komunitas orang muda dalam melakukan aksi-aksinya, Heka berharap semakin besar dukungan dari pemerintah untuk gerakan yang dilakukan oleh orang-orang muda.
Cerita yang sama juga disampaikan oleh Maria, di mana pemerintah daerah merespons baik yang dilakukan oleh Maria dalam mempromosikan pangan lokal. “Kita juga mendorong keterlibatan aktif ibu-ibu, sehingga aksi yang kita lakukan ini bisa menambah sumber ekonomi mereka,” sambungnya.
Menutup diskusi film, Arti Indallah menyatakan bahwa aksi-aksi yang dilakukan oleh masyarakat di NTT tersebut perlu mendapatkan rekognisi dari pemerintah sekaligus dukungan dari publik.
“Ada banyak bentuk solusi untuk krisis iklim, khususnya di NTT. Empat film ini hanya sebagian dari aksi-aksi nyata yang dilakukan di tingkat tapak. Kami di VCA Indonesia ingin menyuarakan berbagai aksi itu, agar mendapatkan dukungan dari pemerintah dan dari publik,” pungkasnya.
VCA Indonesia berharap agar film ini dapat ditonton dan disebarluaskan oleh khalayak luas, sehingga bisa menginspirasi dan memotivasi kita semua untuk terus melakukan aksi-aksi nyata menjaga bumi berbasis kearifan lokal. Dengan demikian, komunitas–termasuk mereka yang terpinggirkan–dapat berpartisipasi secara bermakna dalam merumuskan solusi iklim dan beradaptasi dengan krisis iklim.
***
Sinopsis Film “Climate Witness”
“Asa Mangrove di Holulai”
Balsasar Darius Mboeik, 47 tahun, tetua di komunitas masyarakat adat suku Manggi, di Manggarai, NTT. Dia menginisiasi penanaman 2.500 pohon mangrove di sepanjang garis pantai yang tidak jauh dari Desa Holulai.
Ada aturan adat di desa itu, Hoholok Papadak namanya. Aturan adat ini mengatur dan menjaga ekosistem laut, termasuk larangan untuk mengambil dan menebang hutan mangrove di sekitarnya. Jika dilanggar, akan dikenai sanksi adat dan sosial. Aturan ini kemudian diformalkan melalui peraturan desa.
“Karena dengan menjaga mangrove, kami menjaga alam. Kami menjaga alam untuk kebaikan, bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk anak cucu kami.”
“Daulat Pangan Lokal di Hewa”
Di Desa Hewa ada 17 mata air yang menjadi sumber kehidupan warga desa. Namun, dua mata air kini mengering total. Sementara 15 lainnya mengalami penurunan debit air. Semua itu terjadi karena krisis iklim yang melanda Desa Hewa, sehingga berdampak pada ketahanan pangan.
Melestarikan pangan lokal menjadi salah satu kunci bagi masyarakat untuk beradaptasi dan bertahan hidup di tengah krisis iklim yang terjadi. Maria Mone Soge, 34 tahun, adalah guru matematika di SMA Negeri 1 Wulanggitang. Menjadi guru merupakan cita-citanya sejak kecil. Di luar mengajar, dia juga seorang petani.
Bagi Maria, memulihkan mata air dengan cara menanam bambu betung merupakan salah satu solusi iklim yang pada akhirnya akan mampu menjaga sumber-sumber pangan sekaligus melestarikan berbagai jenis tanaman pangan lokal atas nama kedaulatan pangan.
“Kami melakukan konservasi di mata air Lewok dan sepanjang aliran sungainya. Mata air ini menjadi salah satu sumber mata air desa untuk dikonsumsi dan dialirkan ke lahan sawah.”
“Jejak Karbon Sampah Plastik”
Di balik biru indahnya pantai di Larantuka, sampah-sampah plastik berserakan. Laut kian hari kian kotor. Klemens Heka Hayon, 35 tahun, menyadari bahwa industri plastik berkaitan erat dengan krisis iklim.
Kesadaran itulah yang membawanya pada satu inisiatif besar melalui berbagai komunitas yang bergerak untuk membersihkan sampah plastik. Enam ton sampah plastik di laut dan dua ton sampah plastik di perkampungan warga telah berhasil dibersihkan. Dia turut menanam terumbu karang di laut dan membuat bank sampah di tempat tinggalnya.
“Semakin banyak teman yang bergabung. Organisasi Perangkat Desa juga ikut membersihkan pantai. Bahkan, masyarakat di pesisir dan perkampungan pun bersemangat melakukannya.”
“Suaraku, Lautanku”
Dari ibukota NTT, Kupang, masyarakat membangun gerakan advokasi ke pemerintah untuk menghasilkan kebijakan yang mampu merespons krisis iklim. Gelombang tinggi dan angin kencang membuat hasil tangkapan nelayan berkurang.
Muhammad Mansur Dokeng, 41 tahun, dan nelayan-nelayan kecil lainnya bergabung dalam organisasi Majelis Nelayan Bersatu Kota Kupang. Advokasi kebijakan yang dilakukan organisasi nelayan telah menelurkan hasil yang baik. Pembangunan berkeadilan untuk melindungi kapal nelayan hingga pinjaman bank tanpa agunan.
“Saya sebagai perwakilan pengaduan krisis iklim harus mampu mengadvokasikan permasalahan para nelayan. Sampah plastik yang dibuang ke laut, hasil tangkapan yang berkurang, itu semua kami adukan ke Dinas Perikanan dan Kelautan.”