Jer Basuki Mawa Beya, semua keberhasilan membutuhkan pengorbanan. Peribahasa ini tampaknya sesuai untuk menggambarkan upaya PT PLN (Persero) dalam memanfaatkan bahan bakar nabati demi meminimalkan emisi karbon dalam kegiatan pembangkitan. Pembangkit listrik menjadi salah satu sektor yang mendapat mandatory pemanfaatan biodiesel seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri No. 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Sektor yang diwajibkan memanfaatkan biodiesel sebagai bahan bakar yakni pelayanan umum (PSO), transportasi Non-PSO, Industri dan komersial, sertapembangkit listrik. Masing-masing sektor tersebut diwajibkan memanfaatkan mandatori biodiesel sebesar 15% pada 2015, 20% pada 2016, 30% pada 2020, dan 30% pada 2025.
Khusus untuk pemanfaatan pembangkit listrik, kewajiban mandatori kadar campuran minyak nabati pada 2015 adalah sebesar 25% dan sebesar 30% hingga 2025. Dalam penerapannya, PLN telah menerapkan penggunaan bahan bakar nabati pada tiga jenis pembangkit yakni pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), dan Pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG).
Selama pemakaian bahan bakar nabati digunakan pada PLTG, ternyata kandungan fatty acid methylesters (FAME) tidak direkomendasikan karena dapat merusak material pada gas turbin. Di sisi lain, pada PLTD dan PLTMG, PLN harus melakukan penambahan biaya senilai Rp1,63 triliun per tahun untuk setiap penggunaan bahan bakar nabati.Penambahan biaya dilakukan karena naiknya Specific Fuel Consumption (SFC) atau konsumsi bahan bakar spesifi k sebesar 3% atau sebesar Rp799 miliar saat menggunakan bahan bakar nabati dibanding SD.
Selain itu, tambahan biaya juga dikarenakan peningkatan frekuensi pemeliharaan yang menghabiskan biaya Rp840 miliar. Maka dari itu, pemerintah masih memberikan relaksasi penggunaan biodiesel pada PLN. Asisten Deputi Produktivitas Energi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Andi Novianto mengatakan, pemerintah masih melakukan audit keuangan pada kinerja PLN untuk menentukan apakah relaksasi penggunaan biodiesel tersebut masih dapat diterapkan atau tidak. Meski menambah biaya yang artinya akan memberatkan keuangan perseroan, PLN tetap tidak berpaling dari biodiesel untuk sejumlah pembangkit.
PLTD SENAYAN
Pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) Senayan yang rencananya beroperasi komersial pada Oktober 2019, bahkan juga digadang-gadang mampu menyerap bahan bakar nabati. “Kita pakai B20, campuran nabati 20%, kalau jalan [beroperasi] baunya seperti minyak goreng,” kata Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Barat PLN Haryanto WS saat menunjukkan PLTD yang disiapkan sebagai cadangan sistem kelistrikan moda raya terpadu (MRT) itu, minggu lalu.
Di tengah Kota Jakarta, PLN memang menyadari bahwa menghadirkan pembangkit listrik berbasis diesel yang pasti akan menimbulkan perhatian akan kadar emisi yang dihasilkan. Maklum, kadar polusi di Jakarta sudah cukup tinggi lewat masifnya transportasi berbahan bakar minyak.
Hal tersebut yang menjadi dasar PLN untuk menyosialisasikan bahwa meskipun bermesin diesel, solar yang dijadikan bahan bakar PLTD Senayan menggunakan campuran FAME 20% alias B20. Dengan kata lain, pembangkit itu relatif ramah lingkungan.
Soal efisiensi, PLTD Senayan hanya mengonsumsi 0,21 liter bahan bakar nabati untuk menghasilkan 1 kWh listrik. Berbeda dengan penggunaan genset yang konsumsi bahan bakar minyak berupa solar yang mencapai 0.32 liter per kWh. Hal senada juga disebutkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PT Indonesia Power Ahsin Sidqi yang berani menjamin mesin PLTD Senayan ramah lingkungan dengan emisi yang telah disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Jika PLTD tersebut beroperasi, artinya penyerapan biodiesel untuk pembangkitan akan meningkat.
Berdasarkan data yang Bisnis terima, tercatat pemakaian bahan bakar nabati 20% maupun 30% (B20 atau B30) pada pembangkit PLN selama perhitungan 2018 telah mencapai 422.412 kiloliter (kL) atau 60% dari rencana yang sebesar 701.686 kL. Sisanya, sejumlah pembangkit diesel maupun tenaga gas PLN masih menggunakan high speed diesel (HSD) yang sebanyak 458.263 kL. Pemakaian HSD ini memang melewati rencana yakni seharusnya 98.304 kL karena penggunaan HSD untuk pengoperasian PLTG menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mengalami gangguan, penurunan pasokan gas pipa pada PLTG, dan variasi musim pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang terjadi antara September hingga awal Oktober 2018.
Selain itu, untuk di Maluku, pemakaian HSD juga melewati rencana karena pasokan B20 yang baru tersedia pada akhir Oktober 2018. Namun, seiring dengan makin bertambahnya terminal bahan bakar minyak (TBBM) penyedia pasokan B20, pemakaian bahan bakar nabati tersebut untuk pembangkitan meningkat.
Hal itu dapat digambarkan dengan kondisi September minggu pertama, pemakaian HSD mendominasi untuk pembangkitan yang sebesar 62.855 kL, sedangkan B20 3.752 kL, dan B30 15.660 kL. Hingga selama pertengahan Desember 2018, penggunaan HSD mampu ditekan menjadi 8.066 kL,sedangkan B20 31.221 kL, dan B30 13.178 kL. Sejumlah pengorbana memang perlu dilakukan demi mewujudkan komitmen penurunan emisi karbon sebesar 29% pada 2030. Namun, para pemangku kepentingan masih perlu merumuskan kebijakan yang tepat agar pengorbanan tersebut tidak kelewat banyak ataupun berakhir sia-sia.
Penulis: Ni Putu Eka Wiratmini
Sumber: Bisnis.com