Skip links

Beralih ke Transportasi Umum Listrik, Bersihkan Udara, Gerakkan Ekonomi

Ilustrasi transportasi umum berbasis listrik/Freepik

Transportasi merupakan salah satu sumber emisi penyebab polusi udara. Untuk kurangi emisi hingga penciptaan lapangan kerja, mari beralih ke transportasi umum berbasis listrik.

KOAKSI INDONESIA—Mobilitas masyarakat yang tinggi membutuhkan dukungan transportasi yang memadai. Kebutuhan ini akan bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan mobilitas masyarakat, terutama di kota besar seperti Jakarta. 

Pada satu sisi, transportasi menjadi penggerak ekonomi. Sisi lain, transportasi menjadi salah satu sumber emisi penyebab pencemaran udara. Dilansir dari Indonesia Sustainable Mobility Outlook 2025, sektor transportasi merupakan salah satu dari tiga penghasil emisi bahan bakar fosil terbesar di Indonesia, setelah sektor pembangkit listrik dan bersaing dengan sektor industri. Emisi sektor transportasi tumbuh 1,56% per tahun dan mencapai 202 juta ton karbon dioksida (CO2) pada tahun 2024. Dari angka tersebut, sektor transportasi jalan raya menyumbang setidaknya 80% dari total emisi sektor transportasi.

Emisi, Penyebab Udara Tidak Lagi Bersih

Ilustrasi emisi dari kendaraan bermotor menyebabkan polusi udara/Freepik

Data Handbook of Energy & Economy Statistics of Indonesia 2024 menunjukkan, sektor transportasi menempati urutan kedua dalam konsumsi energi nasional dengan 461 juta BOE atau setara 36% dari total konsumsi energi final. Selain itu, lebih dari 90% konsumsi bahan bakar minyak tahunan di sektor transportasi berasal dari sektor transportasi jalan. Padahal, penggunaan bahan bakar fosil, yaitu minyak, merupakan salah satu sumber emisi.  

Laporan Dampak Polusi Udara dari Sektor Transportasi terhadap Kesehatan di Indonesia menyatakan, kendaraan bermotor berbasis mesin pembakaran (internal combustion engine) dengan bahan bakar bensin dan solar menghasilkan berbagai emisi gas buang yang berbahaya, seperti nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), dan partikel-partikel (partikulat) kecil seperti PM2,5 dan PM10. Dampak buruk berbagai gas buang itu dapat dilihat dalam gambar berikut.

Sumber: Laporan Dampak Polusi Udara dari Sektor Transportasi terhadap Kesehatan di Indonesia

Laporan lain menunjukkan hal yang senada. Sebagai sumber utama polusi udara perkotaan, transportasi bermotor menyumbang 19% konsentrasi PM2,5 di 11 kota dan lebih dari 90% kematian terkait transportasi akibat paparan PM2,5 dan ozon. 

Selain itu, polusi udara mengurangi usia harapan hidup penduduk Indonesia sebesar 1,4 tahun. Angka ini diperoleh dari perhitungan Air Quality Life Index (AQLI) 2023 terhadap cemaran PM2,5 di Indonesia pada tahun 2021 yang rata-rata mencapai 18,8 mikron per meter kubik (µg/m³). Rata-rata itu lebih dari tiga kali lipat standar aman yang ditetapkan WHO sebesar 5 µg/m³. 

Dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 di Indonesia berdasarkan Laporan Kualitas Udara Dunia (IQAir) 2024 sebesar 35,5 µg/m³, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terpolusi di Asia Tenggara dan menempati urutan ke-15 di seluruh dunia, risiko pengurangan angka harapan hidup penduduk Indonesia bertambah hampir dua kali lipat. 

Baca Juga:  Koaksi Indonesia Jaring Aspirasi Orang Muda untuk Perkuat dan Perluas Kampanye Green Jobs

Risiko pengurangan ini bertambah lagi untuk Jakarta. Dengan rata-rata konsentrasi PM2,5 di Jakarta pada 2024 sebesar 41,7 µg/m³, yang menempatkan Jakarta sebagai ibu kota negara terpolusi urutan ke-10 di dunia dan kota terpolusi urutan ke-12 di Asia Tenggara, risiko penurunan angka harapan hidup penduduknya lebih dari dua kali lipat.

Sayangnya, kualitas udara kota-kota di sekitar Jakarta yang memiliki keterkaitan erat dalam aktivitas ekonomi dengan Jakarta, tidak lebih baik. Bahkan, rata-rata konsentrasi PM2,5 di kota-kota tersebut lebih tinggi daripada Jakarta. 

Berikut rata-rata konsentrasi PM2,5 dan urutannya sebagai kota terpolusi di Asia Tenggara berdasarkan IQAir 2024.

  • Tangerang Selatan (61,1) menempati urutan ke-1.
  • Tangerang (55,6) menempati urutan ke-2.
  • Cikarang (52,8) menempati urutan ke-3.
  • Depok (50,3) menempati urutan ke-5.
  • Bekasi (42,5) menempati urutan ke-10.
  • Serpong (42,4) menempati urutan ke-11.
  • Jakarta (41,7) menempati urutan ke-12.
  • Bandung (40,0) menempati urutan ke-14.

Emisi juga memperparah perubahan iklim. Contohnya, kenaikan suhu rata-rata tahunan dan peningkatan intensitas hujan akibat cuaca ekstrem di Jakarta. Kenaikan sebesar 1,6 derajat Celsius selama satu abad terakhir lebih tinggi daripada kenaikan suhu rata-rata global sebesar 0,85 derajat Celsius. Sementara itu, intensitas hujan meningkat mencapai 377 mm per hari pada 2020 yang berpotensi meningkatkan risiko banjir.

Emisi, Penyebab Kerugian Ekonomi

Ilustrasi emisi dari kendaraan bermotor menyebabkan kerugian ekonomi/Freepik

Emisi tidak hanya berdampak buruk terhadap lingkungan, tetapi juga ekonomi. Beberapa hasil kajian berikut memperlihatkan kerugian ekonomi sebagai akibat dampak buruk polusi udara. 

  • Penelitian konsentrasi PM10 terhadap kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan, estimasi beban ekonomi akibat pencemaran udara yang disebabkan PM10 sekitar Rp373,1 triliun atau setara dengan 5,03% Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011. Biaya ekonomi tersebut mengacu kepada nilai sumber daya yang hilang akibat mortalitas dan morbiditas. Nilai sumber daya yang hilang akibat mortalitas (kematian dini) sekitar Rp227,1 triliun (60,9% dari beban total). Sementara itu, nilai sumber daya yang hilang akibat morbiditas sekitar 146 triliun (39,1% dari beban total). Komponen terbesar (sekitar 50%) dari nilai sumber daya yang hilang akibat morbiditas tersebut adalah perawatan rumah sakit akibat penyakit pernapasan. Dengan kata lain, biaya ekonomi dari polusi udara yang harus ditanggung oleh setiap orang rata-rata sekitar Rp1,53 juta atau sekitar 6,7% dari pendapatan per kapita per tahun.
  • Penelitian konsentrasi partikel halus (PM2,5) dan Ozon tingkat dasar (O3), yang melebihi standar kualitas udara di Jakarta. Hasil penelitian pada 2019 ini menunjukkan, lebih dari 10.000 kematian, lebih dari 5.000 rawat inap akibat penyakit kardiorespirasi (gangguan jantung dan pernapasan), dan lebih dari 7.000 dampak kesehatan yang merugikan pada anak-anak di Jakarta setiap tahun. Total beban ekonomi akibat polusi udara diperkirakan mencapai USD2.943,42 juta atau sekitar Rp47 triliun dengan kurs Rp16.000. 
  • Studi pengurangan emisi terhadap biaya kesehatan. Hasil studi menunjukkan, kemacetan kronis akibat moda transportasi Indonesia yang masih didominasi oleh kendaraan bermotor ditambah perencanaan tata ruang yang lemah, menimbulkan beban biaya sekitar USD4 miliar per tahun atau 0,5% dari PDB, dan membuang lebih dari 2,2 juta liter bahan bakar setiap hari di kota-kota besar. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas bahan bakar—terlebih di daerah perkotaan seperti Jabodetabek—dapat memangkas emisi PM hingga 95% dan mengurangi penyakit akibat polusi secara signifikan. Biaya kesehatan pun dapat dihemat hingga Rp550 miliar per tahun.
Baca Juga:  Memperkuat Ketahanan Energi Nasional dengan Energi Terbarukan

Bebas Polusi dan Minim Kemacetan

Ilustrasi bepergian menggunakan transportasi umum yang nyaman/Freepik

Risiko dampak buruk tersebut akan bertambah seiring dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Indonesia Sustainable Mobility Outlook 2025 memperkirakan, volume perjalanan darat mencapai 3,2 triliun km pada 2050, dengan kepemilikan kendaraan meningkat menjadi 234 juta unit—190 mobil dan 526 motor per 1.000 penduduk—didorong oleh permintaan perjalanan per kapita yang hampir dua kali lipat. Tanpa intervensi, emisi transportasi jalan akan mencapai 561 juta ton CO2 pada 2060. 

Hasil kajian tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana Indonesia dapat mencapai target emisi nol bersih (net zero emissions/NZE) pada 2060? Salah satu intervensi yang dapat kita lakukan adalah dengan mulai menggunakan transportasi umum berbasis listrik. 

Perbedaan jumlah emisi yang dihasilkan kendaraan pribadi dan transportasi publik dapat dilihat dalam Kajian Transformasi Transportasi Jakarta. Dalam kajian itu dinyatakan bahwa emisi dari transportasi publik jauh lebih kecil daripada kendaraan pribadi untuk satu penumpang. 

Satu kali perjalanan penumpang transportasi publik di DKI Jakarta diperkirakan menghasilkan emisi langsung sebesar 0,778 Kg CO2e/penumpang untuk transportasi rel sedangkan Transjakarta sebesar 0,948 Kg CO2e/penumpang yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan sepeda motor (1,802 Kg CO2e/penumpang) dan mobil (3,579 Kg CO2e/penumpang). KRL merupakan kendaraan dengan emisi paling rendah sebesar 0,345 Kg CO2e/penumpang karena kapasitas penumpang yang diangkut relatif lebih besar dibandingkan alat transportasi lain.

Selain itu, penggunaan transportasi publik dapat mengurangi kemacetan hingga 12 kali lipat lebih efektif dibandingkan dengan kendaraan pribadi, sebagaimana dikutip dari sumber yang sama.

Baca Juga:  Menenun Masa Depan: Praktik Baik Komunitas Gebetan dan Penenun Sumba dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Penggunaan transportasi publik yang mengurangi kemacetan akan berujung pada pengurangan emisi. Hasil studi yang dimuat dalam Jurnal Teknik Sipil menunjukkan adanya hubungan yang selaras antara jumlah kendaraan, kecepatan kendaraan, dan emisi karbon monoksida (CO). Makin banyak jumlah kendaraan pada suatu titik makin rendah kecepatan kendaraan, sehingga emisi CO yang dihasilkan lebih besar. 

Pencipta Lapangan Kerja

Ilustrasi investasi pada transportasi publik menambah lapangan kerja/Freepik

Manfaat lain dari berinvestasi pada transportasi umum ramah lingkungan adalah terciptanya lapangan kerja. Berdasarkan Laporan Making COP26 Count, transportasi menyumbang seperempat emisi CO2. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggandakan penggunaan transportasi umum di berbagai kota di dunia. 

Cara tersebut akan menciptakan puluhan juta lapangan kerja di kota-kota di seluruh dunia. Sebanyak 4,6 juta lapangan kerja baru di antaranya terdapat di hampir 100 kota anggota C40 (jaringan global kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta, yang berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim). Selain itu, menggandakan penggunaan transportasi umum di berbagai kota di dunia akan mengurangi emisi transportasi perkotaan lebih dari setengahnya dan mengurangi polusi udara dari transportasi hingga 45%. 

Laporan ini menampilkan hasil riset terbaru mengenai potensi lapangan kerja lokal di lima kota global yang memimpin, atau memiliki kemauan politik, dalam melakukan perubahan pada transportasi umum. Kelima kota itu adalah Milan, London, Johannesburg, Jakarta, dan Houston. Berikut hasil detailnya.

Sumber: Making COP26 Count

Hasil penelitian memperlihatkan, investasi pada transportasi umum ramah lingkungan menciptakan ratusan ribu pekerjaan untuk berbagai kota dan negara pada 2021—2030. Pekerjaan itu akan menghasilkan campuran lapangan kerja langsung, tidak langsung, dan terinduksi, baik dalam konstruksi maupun operasional. 

Pekerjaan langsung mengacu kepada pekerjaan yang tercipta sebagai akibat langsung dari investasi baru, baik yang berkaitan dengan konstruksi maupun operasional. Contohnya, lapangan kerja dalam pembangunan jalur kereta api atau pengoperasian rute transportasi tambahan.

Pekerjaan tidak langsung tercipta akibat pengeluaran untuk barang dan jasa untuk konstruksi atau operasional. Misalnya, pekerjaan manufaktur komponen rel untuk jalur kereta api baru.

Sementara itu, pekerjaan terinduksi tercipta karena pekerja baru membelanjakan uangnya untuk layanan seperti makanan atau ritel, yang memungkinkan industri tersebut tumbuh. Misalnya, pekerja konstruksi yang membangun jalur kereta api baru atau pekerja transportasi baru berbelanja makanan atau pakaian. 

Selain itu, pekerjaan langsung akan mencapai empat dari sepuluh (42%) total pekerjaan yang diciptakan. Sisanya merupakan pekerjaan yang bersifat tidak langsung dan terinduksi. Dengan kata lain, investasi pada transportasi umum menjadi mesin penggerak aktivitas ekonomi yang lebih luas.

Penulis

Beranda
Kabar
Kegiatan
Dukung Kami
Cari