Manusia harus mampu berupaya menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi berbasis ekosistem akan menjaga kehidupan berkelanjutan dan masyarakat NTT telah membuktikannya.
KOAKSI INDONESIA—Perubahan iklim saat ini sedang hangat diperbincangkan, bukan karena isu yang sedang naik daun, namun karena banyak kalangan yang sudah merasakan dampaknya. Perlahan suhu bumi meningkat sejak 20 tahun terakhir, tercatat perubahan tersebut berkisar 0,18 derajat Celsius per dekade sejak 1981 (NOAA, 2021). Dampak yang dirasakan selain suhu makin memanas, kejadian bencana alam lebih sering terjadi belakangan ini. Tercatat jumlah bencana alam dari tahun ke tahun terus meningkat dan makin parah kondisinya (BNPB, 2023).
Dampak ini telah dirasakan secara global, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tentunya dampak perubahan iklim yang dirasakan akan lebih parah. Menurut hasil studi IPCC, wilayah yang paling terdampak perubahan iklim adalah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dampaknya dapat berupa kenaikan permukaan air laut, erosi pantai, kerusakan terumbu karang, dan kehilangan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir.
Baca Juga: Apa Itu Aksi Iklim dan Peran Tiap Sektor
Provinsi di Indonesia memiliki wilayah pesisir dan ada beberapa yang berbentuk pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, dibutuhkan adaptasi terhadap perubahan iklim agar mengurangi dampak negatif di masyarakat. Mekanisme adaptasi ini tentunya harus sejalan dengan upaya mengurangi dampak dari perubahan iklim. Adapun salah satu pendekatan yang dapat dilakukan melalui Adaptasi Berbasis Ekosistem (Ecosystem Based Adaptation [EbA]).
Signifikansi Melakukan EbA
Program Lingkungan PBB (UNEP) mendefinisikan Adaptasi Berbasis Ekosistem (EbA) sebagai pendekatan yang menggunakan keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem sebagai bagian dari strategi adaptasi yang lebih luas untuk membantu manusia beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada ekosistem lingkungan, tetapi juga pada manajemen yang berkelanjutan, konservasi dan restorasi ekosistem sehingga dapat membantu masyarakat dalam beradaptasi akibat dampak dari perubahan iklim (CBD, 2009).
Publikasi oleh Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) pada tahun 2009 memberikan beberapa contoh aktivitas yang berkaitan dengan EbA, yaitu (1) perlindungan pesisir; (2) pengelolaan lahan basah dataran tinggi dan dataran banjir yang berkelanjutan; (3) konservasi dan restorasi hutan; (4) membangun sistem wanatani yang beragam; dan (5) konservasi agrobiodiversiti.
Dalam konteks adaptasi, EbA berperan signifikan karena dapat diaplikasikan dalam beragam cakupan wilayah, lebih hemat biaya, lebih mudah diakses oleh masyarakat perdesaan serta masyarakat dengan pendapatan rendah, dan dapat mengintegrasikan serta mempertahankan pengetahuan dan nilai-nilai budaya lokal.
Untuk melaksanakan konsep EbA, International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mengeluarkan buku panduan EbA. Buku tersebut memaparkan langkah-langkah yang perlu dilakukan serta pertanyaan panduan untuk memudahkan dalam penilaian EbA.
- Memahami konteks geografis dan mendefinisikan tujuan dari EbA. Langkah ini sebagai awal untuk memutuskan apakah program dapat dilanjutkan atau tidak.
- Penilaian kerentanan antara risiko iklim dengan kapasitas adaptif yang akan menghasilkan profil kerentanan.
- Penilaian jasa ekosistem secara cepat untuk memetakan jasa adaptasi dan pendorong utama perubahan penggunaan lahan.
- Pengembangan strategi EbA dan langkah-langkah adaptasi.
- Monitoring dan evaluasi untuk pemelajaran.
- Mengarusutamakan EbA dan mendorong sinergi.
Cerita Praktik Baik EbA di NTT
Dalam mendukung konsep EbA, Koaksi Indonesia telah melakukan pemetaan praktik baik yang sudah dilakukan oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Hasil pemetaan itu dituangkan dalam film “Climate Witness”. Setiap tahun sejak 2022, Koaksi Indonesia menginisiasi pembuatan film ini dengan menghadirkan empat tokoh NTT yang telah melakukan adaptasi iklim berbasis lingkungan hidup mereka pada setiap film. Saat ini, sudah ada dua film “Climate Witness” yang diproduksi.
“Climate Witness” pertama menampilkan empat tokoh, yaitu Lunggi Randa, Joni Messakh, Yasinta Adoe, dan Selia Narswati.
Lunggi Randa, Pemuka Adat Kampung Wundut, Kabupaten Sumba Timur
Tokoh masyarakat sekaligus petani ini menjaga kelestarian hutan adat sehingga pepohonan di hutan tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat di sana hanya mengambil yang mereka perlukan sesuai dengan kearifan lokal yang sudah turun-temurun. Bagi mereka, hutan yang terjaga akan menjaga sumber air sehingga kelangsungan hidup mereka dan ternak tetap terpelihara dengan baik.
Joni Messakh, Pewaris Mangrove Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang
Melanjutkan usaha bapaknya, Joni menanam mangrove dan menggerakkan masyarakat di desanya untuk turut serta. Penanaman mangrove dilakukan untuk melindungi mereka dari abrasi dan pasang besar. Kedua bencana itu merugikan masyarakat desa sehingga mereka tidak mau lagi mengalaminya. Bencana ini bermula dari pengambilan pasir besar-besaran yang pernah terjadi di Desa Tanah Merah.
Yasinta Adoe, Nelayan Pasir Panjang, Kupang
Yasinta bersama perempuan nelayan di Pasir Panjang melakukan penanaman pohon seperti waru dan bakau untuk menjaga pesisir pantai. Pohon waru juga bisa meminimalisasi gelombang, membuat area pantai tidak gersang, menjadi tempat berteduh sambil menunggu air surut, dan menjadi tempat menyandarkan perahu. Para nelayan itu juga berhasil menolak pembangunan jogging track yang akan menutupi area pasir di tepi pantai karena area pasir berguna untuk menambatkan perahu.
Selia Narswati, Pendiri Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Cahaya Anak Sumba, Desa Mbatakapidu, Sumba Timur
Di Cahaya Anak Sumba, anak-anak tidak hanya belajar pengetahuan formal, tetapi mereka diajak dan dimotivasi untuk mencintai lingkungan melalui tindakan nyata. Misalnya, menanam pohon yang dibawa dari rumah masing-masing di sekitar sekolah dan memilah sampah di rumah untuk ditukarkan di bank sampah. Selia menyadari bahwa anak merupakan agen perubahan sehingga untuk menumbuhkan kesadaran dan kemauan menjaga lingkungan harus dimulai dari mereka.
“Climate Witness” Kedua
Seperti yang pertama, pada “Climate Witness” kedua ini juga ditampilkan empat tokoh yang telah melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim di lingkungan mereka masing-masing. Keempat tokoh ini berjuang dan menggerakkan masyarakat di lingkungan mereka untuk bergerak bersama mengatasi dampak perubahan iklim.
Baca Juga: Sambut Peluncuran Film Climate Witness, Koaksi Ajak Masyarakat Urban Aksi Iklim
Mereka adalah Muhammad Mansur Dokeng, Klemens Heka Hayon, Balsasar Darius Mboeik, dan Maria Mone Soge.
Muhammad Mansur Dokeng, Nelayan, Kota Kupang
Bercerita tentang membangun komunitas nelayan dengan peningkatan kapasitas dalam membaca data INA – WIS dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dengan INA – WIS, nelayan dapat mengetahui cuaca di laut, kecepatan angin, kecepatan gelombang, sehingga dapat meminimalisasi kecelakaan pada nelayan saat melaut.
Klemens Heka Hayon, Penggiat Lingkungan, Larantuka, Kabupaten Flores Timur
Bergiat di Trash Hero. Pendiri Rompes (Rombongan Pesepeda). Aktif bersama Mura Rame untuk kampanye di ruang publik. Seorang yang selalu giat mengirim edukasi mengenai lingkungan dan menjadi pengingat di Mura Rame dan pemerintah khususnya dinas pariwisata untuk tetap menjaga lingkungan.
Balsasar Darius Mboeik, Ketua Adat Suku Manggi, Kabupaten Rote Ndao
Pengambilan pasir besar-besaran yang menyebabkan abrasi pantai serta terjadinya badai Seroja menggerakkan masyarakat untuk kembali menanam mangrove dengan dipimpin oleh Balsasar Darius Mboeik. Dengan menjaga mangrove, suku Manggi sebagai masyarakat pesisir terlindungi dari badai dan ekosistem laut terjaga sehingga memberikan keuntungan secara ekonomi. Mangrove yang tumbuh subur akan terlihat indah sehingga menarik minat wisatawan.
Maria Mone Soge, Penggiat Pangan Lokal, Desa Hewa, Kabupaten Flores Timur
Sorang guru matematika SMA yang aktif mengajak masyarakat setempat menanam serta melestarikan pangan lokal. Maria dan penduduk desa kembali menanam benih-benih pangan lokal yang terancam punah kemudian mengarsipkannya. Selain itu, Maria pernah menjadi salah satu pembicara pada UN Water Conference 2022 lalu.
Cerita inspiratif mereka dalam Climate Witness pertama telah tayang di Youtube @coaction.id https://www.youtube.com/@coaction.indonesia/videos. Sementara, “Climate Witness” kedua akan tayang pada 22 Juni 2024.
Mungkin tokoh-tokoh dalam “Climate Witness” tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan termasuk adaptasi berbasis ekosistem. Namun, yang pasti mereka menyadari bahwa jika alam sekitar tempat tinggal mereka rusak, tidak ada lagi kehidupan bagi mereka. Kesadaran inilah yang lebih penting.