Local Champion Camp menjadi kegiatan di hari pertama PRF 2024. Pertemuan aktor lokal Nusa Tenggara Timur ini untuk merumuskan aksi bersama dalam menyuarakan perubahan iklim.
KOAKSI INDONESIA–Pesta Raya Flobamoratas (PRF) 2024 telah dimulai pada 24 September 2024 di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT). Isu perubahan iklim menjadi fokus utama dalam agenda PRF yang dapat disuarakan ke publik luas. Pada hari pertama rangkaian PRF 2024 diadakan pertemuan para aktor lokal dari masing-masing koalisi Voices for Just Climate Action (VCA) NTT. Pertemuan di Saint Camillus Social Center Maumere, Kabupaten Sikka, NTT ini dihadiri 38 orang aktor lokal yang berasal dari Pulau Flores, Lembata, Alor, Timor, Sumba, dan Rote.
Mereka berasal dari latar belakang yang beragam mulai dari petani, guru, nelayan, dan masyarakat adat yang hidup di wilayah rural maupun urban. Masing-masing dari mereka telah melakukan aksi iklim, sehingga dipertemukan untuk menyusun manifesto bersama yang dapat mengintegrasikan agenda seluruh elemen masyarakat dalam menghadapi krisis iklim dan pembangunan di Indonesia, khususnya di Provinsi NTT.
Diskusi difasilitasi oleh Omen dari Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI). Diawali dengan konteks singkat mengenai perubahan iklim, Omen menegaskan bahwa perubahan iklim terjadi setelah revolusi industri karena sumber daya alam berbasis fosil mulai dieksploitasi. Selain itu, adanya kolonialisme, sehingga terjadi ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Dengan demikian, konteks perubahan iklim yang terjadi saat ini berkaitan erat dengan ketidakadilan pembangunan dan ekonomi.
Kegiatan Awal Diskusi
Kemudian, masing-masing koalisi menjelaskan berbagai kegiatan di program VCA. Melan, perwakilan dari Koalisi KOPI (Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim), menekankan pentingnya ruang aman bagi pemuda dalam menyuarakan isu lingkungan.
“Koalisi kami terdiri dari 130 komunitas orang muda di NTT yang awalnya tidak memiliki latar belakang lingkungan. Namun, setelah bergabung, kami semakin peduli terhadap isu lingkungan dan iklim,” jelasnya. Melan juga menyoroti kebutuhan akan pelatihan dan pendampingan untuk memperkuat peran pemuda dalam menghadapi perubahan iklim.
Baca Juga: Inovasi Teknologi Ramah Lingkungan, Berita Baik untuk Indonesia 2024
Perwakilan lain, Deden dari Koalisi Adaptasi, menekankan pentingnya adaptasi berbasis kearifan lokal, khususnya di pulau-pulau kecil. “Aksi iklim oleh masyarakat adat sebenarnya sudah lama dilakukan. Kami hanya perlu menggali kembali praktik-praktik lokal tersebut untuk menjadi solusi adaptasi yang lebih relevan,” tuturnya. Hal senada disampaikan oleh Umbu Tri, yang menyoroti pentingnya keterlibatan anak muda dalam menjaga tradisi dan kearifan lokal sambil menghadapi tantangan modern.
Pada sesi yang membahas isu pesisir, Yasinta Adoe dari Koalisi Sipil, menyuarakan kekhawatiran terkait hak-hak nelayan kecil di wilayah Kupang. Menurutnya, setelah Badai Seroja, banyak aset nelayan yang hancur, namun belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengatasi dampak bencana tersebut. “Kami sadar bahwa sebagai nelayan kecil, kami memiliki hak yang harus diperjuangkan, terutama terkait akses pemecah gelombang dan dukungan modal tanpa bunga untuk memulihkan usaha kami,” tegas Yasinta.
Andika, seorang aktivis muda dari Larantuka, berbagi cerita tentang inisiatif konservasi mata air di wilayahnya. Menurutnya, anak muda harus menjadi pelaku utama dalam menemukan masalah lokal dan menginisiasi aksi nyata. “Kami di Larantuka berfokus pada konservasi sumber air, sementara di Lembata, kami bekerja sama dengan petani untuk memanfaatkan lahan kering secara berkelanjutan,” katanya.
Isu lain yang juga disorot dalam diskusi ini adalah terkait perkotaan. Aliansi Slum Dwellers International (SDI), yang bekerja di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, menyoroti pentingnya penanggulangan isu sampah dan sanitasi di daerah padat penduduk. Mereka mengajak masyarakat sipil, terutama ibu-ibu setempat, untuk menjadi pionir dalam menjaga kebersihan lingkungan perkotaan.
Identifikasi Ketidakadilan
Kemudian peserta diskusi dibagi menjadi empat kelompok yang akan mendiskusikan identifikasi ketidakadilan. Kelompok tersebut terbagi menjadi: (1) kelompok masyarakat urban, (2) kelompok petani, (3) kelompok masyarakat pesisir, dan (4) kelompok masyarakat adat.
Kelompok masyarakat urban menyoroti adanya ketidakadilan karena keterbatasan ruang ekspresi bagi anak muda dan masyarakat miskin. Mereka dianggap tidak berpengalaman dan terbatas informasinya, sehingga tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, terkait kebijakan tata kelola kota serta lingkungan masih sangat minim. Di Ende contohnya, sistem drainase masih buruk sehingga sering terjadi banjir. Padahal, Ende merupakan daratan tertua di Pulau Flores.
Kelompok petani memiliki argumen bahwa adanya ketidakadilan akibat dari tidak dilibatkannya petani dalam pengambilan kebijakan, sehingga kebijakan yang terlaksana tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Tidak adanya jaminan perlindungan risiko gagal panen serta pengawasan harga pangan menjadikan mereka rentan terhadap ketidakpastian iklim.
Baca Juga: Pangan Lokal, Pemberi Harapan Pasti untuk Krisis Iklim dan Ekonomi
Kelompok masyarakat pesisir melihat adanya ketidakadilan akibat dari ketidaksesuaian infrastruktur pesisir dengan kebutuhan nelayan. Seperti pembangunan jogging track di pesisir Kota Kupang yang berlokasi tepat di pesisir, padahal peraturan pemerintah tidak memperbolehkan pembangunan infrastruktur sejauh 100 meter dari pasang tertinggi air laut. Dampak nyata yang dirasakan adalah terbatasnya akses nelayan menuju laut. Sementara itu, kebutuhan masyarakat pesisir adalah pemecah gelombang ombak untuk menahan laju ombak dan abrasi di wilayah pesisir, namun masih direspons lambat oleh pemerintah.
Kelompok masyarakat adat merasakan ketidakadilan akibat dari belum adanya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Mereka tidak dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.
Manifesto Bersama
Diskusi ini berujung pada kesepakatan untuk merumuskan manifesto yang menuntut perhatian serius dari pemerintah daerah dan nasional terhadap perubahan iklim, perlindungan hak masyarakat adat, serta pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh golongan masyarakat.
Manifesto tersebut akan menjadi seruan politik yang kuat untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintah mencakup kepentingan masyarakat pesisir, adat, urban, dan petani di seluruh Indonesia. Diskusi ini membuktikan bahwa kolaborasi lintas komunitas sangat penting untuk menyuarakan keadilan iklim dan sosial di tingkat lokal maupun nasional.
Rencananya manifesto tersebut akan disampaikan pada hari Kamis, 26 September 2024 kepada pemerintah Kabupaten Sikka dalam kegiatan Dialog Publik & Konferensi Pers: PRF 2024 “Suara Bae dari Timur”.