Energi air merupakan satu dari lima sumber terbesar energi terbarukan. Energi ini dapat dimanfaatkan dan diubah menjadi listrik tanpa meninggalkan emisi gas rumah kaca seperti yang dihasilkan oleh pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil.
KOAKSI INDONESIA—Berbeda dengan sumber energi terbarukan lainnya, air akan terus menghasilkan tenaga nonstop dan ketersediaannya terus dihasilkan oleh siklus hidrologi.
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dihasilkan dari energi potensial air yang diubah menjadi energi mekanik oleh turbin. Selanjutnya, energi tersebut diubah menjadi energi listrik oleh generator dengan memanfaatkan ketinggian dan kecepatan air.
Bagaimana Cara Kerja PLTA?
Untuk menghasilkan listrik, diperlukan sebuah bendungan dalam aliran sungai besar yang memiliki ketinggian yang berbeda. Sisi yang menampung air di balik bendungan disebut dengan waduk. Ketika aliran air dari waduk turun ke dalam pipa pesat (penstock) di dalam bendungan akibat gravitasi, baling-baling turbin di akhir pipa pesat akan berputar. Turbin ini terhubung ke poros yang berputar di dalam generator yang bergerak sehingga menghasilkan energi.
Listrik yang dihasilkan oleh PLTA bergantung pada siklus hidrologi karena jumlah curah hujan (presipitasi) yang turun ke aliran air menentukan ketersediaan air. Perubahan pada pola presipitasi akan memengaruhi ketersediaan air yang pada akhirnya memengaruhi produksi listrik yang dihasilkan.
Baca Juga: Sejauh Mana Pemanfaatan Energi Terbarukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur?
Berdasarkan dari daya listrik yang dihasilkan, pembangkit listrik tenaga air dibedakan menjadi:
(1) pico hydro yang menghasilkan 5 kW,
(2) micro hydro yang menghasilkan 5—100 kW,
(3) mini hydro yang menghasilkan daya di atas 100 kW, namun tetap di bawah 1 MW, dan
(4) bendungan/dam/large hydro yang menghasilkan daya lebih dari 100 MW.
Pemanfaatan Air Sebagai Pembangkit Listrik
Indonesia telah memanfaatkan air sebagai pembangkit listrik, salah satunya adalah PLTA Cirata, Purwakarta. Tidak hanya PLTA, Waduk Cirata dimanfaatkan juga sebagai tempat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, di Waduk Cirata terdapat PLTA terbesar di Indonesia dan nomor dua se-Asia Tenggara (setelah PLTA di Vietnam) serta PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara.
Pembangkit listrik yang telah dibangun sejak 1983 ini memang bukanlah pembangkit utama dalam jaringan listrik Jawa Bali, melainkan dijadikan pembangkit listrik cadangan jika pembangkit lain bermasalah, sehingga listrik di Jawa dan Bali tidak padam. Keunikan lain pembangkit ini adalah letaknya di kedalaman 200 meter dari permukaan tanah.
Selain Cirata, terdapat pula pembangkit listrik tenaga air lainnya di Indonesia seperti PLTA Saguling, Jatiluhur, dan Lamajan.
Sektor Wisata PLTA
Selain menjadi pembangkit, PLTA bermanfaat bagi sektor pariwisata. Pemandangan alam gunung dan danau serta wisata kuliner menjadi daya tarik pariwisata di sini. Misalnya, pemandangan alam di kawasan Bendungan Jatiluhur. Di sana, pengunjung dapat menyaksikan sunset, naik perahu di tengah danau, melakukan olahraga air, seperti berenang dan ski air, serta mencicipi ikan segar hasil keramba ikan air tawar.
PLTA dan Aspek Keseimbangan Lingkungan
Meskipun mendatangkan banyak manfaat, pemanfaatan air dengan membangun bendungan memiliki dampak lain seperti dapat mengganggu keseimbangan ekosistem sungai di bagian hilir atau danau.
Pembangunan yang memakan biaya dan waktu yang cukup lama serta kerusakan pada bendungan dapat menyebabkan risiko kecelakaan dan kerugian lain yang besar.
Selain itu, perubahan iklim dan deforestasi menjadi tantangan tersendiri. Dampak perubahan iklim berupa kekeringan ketika kemarau panjang dan aliran air sungai yang deras ketika musim penghujan yang mengakibatkan bendungan jebol harus diantisipasi. Dengan demikian, PLTA tidak berhenti beroperasi.
Sementara deforestasi menyebabkan erosi di dasar sungai ketika musim hujan dan jumlah air berkurang di musim kemarau. Kedua kondisi ini juga akan memengaruhi kerja PLTA.
Oleh karena itu, aspek-aspek lingkungan serta keselamatan dalam pemanfaatan bendungan dapat diterapkan secara optimal.
Sudah Dimanfaatkan, tetapi Belum Optimal
Indonesia memang sudah memanfaatkan tenaga air sebagai pembangkit listrik. Namun, sebagai negara yang memiliki sumber air berlimpah, Indonesia belum memanfaatkannya secara optimal. Padahal, pemanfaatan energi air sebagai pembangkit listrik merupakan salah satu upaya transisi energi yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target net zero emission pada 2060.
Baca Juga: Siasat Energi Terbarukan di Desa Air Tenam Sebagai Alat Pemanfaatan Potensi Desa
Dikutip dari Kompas.id, Indonesia memiliki potensi tenaga air 76,09 gigawatt. Namun, kapasitas tenaga air yang terpasang saat ini sebagai pembangkit listrik hanya 5,29 gigawatt atau 6,9% dari seluruh kapasitas yang dimiliki. Tingkat pemanfaatan sumber air yang rendah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan urutan kelima di Asia Tenggara.
Sumber yang sama juga menyatakan Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 dengan porsi capaian dari PLTA sebesar 21 gigawatt. Berdasarkan perbandingan antara kapasitas yang terpasang sebesar 5,29 gigawatt (2023) dan target capaian sebesar 21 gigawatt (2025), apakah target tersebut dapat tercapai? Mengingat rentang waktu pemenuhan target tidak sampai dua tahun.