
Komunitas Mandiri Energi: Bahan Penggerak yang Melampaui Teknologi

Mengapa listrik di kota besar selalu tersedia, sementara di banyak daerah terpencil masih sulit diakses?
KOAKSI INDONESIA–Salah satu penyebabnya adalah sistem energi Indonesia yang masih terpusat. Bayangkan seperti air yang mengalir dari satu keran besar melalui pipa panjang ke banyak rumah, semakin jauh jaraknya, semakin besar kemungkinan gangguan, kebocoran, atau bahkan air tidak sampai ke tujuan. Hal yang sama terjadi pada sistem jaringan kelistrikan kita.
Selama bertahun-tahun hingga sekarang, sistem kelistrikan di Indonesia masih bergantung pada model pembangkit listrik terpusat. Artinya, listrik dihasilkan di satu lokasi besar, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang kemudian disalurkan ke berbagai wilayah melalui jaringan transmisi yang panjang. Ketergantungan pada jaringan utama menyebabkan akses listrik yang tidak merata. Akibatnya, banyak daerah yang masih sulit menikmati listrik yang stabil, bahkan sampai sekarang.
Ironisnya, di tengah surplus produksi listrik nasional kita tahun 2022 yang mencapai 81,2 GW, masih ada setidaknya 4.400 desa di Indonesia yang belum menikmati listrik. Jika hanya mengacu pada distribusi yang dilakukan oleh PLN, angka ini bisa jauh lebih besar, yakni sejumlah 6.421 desa yang sebagian besar tersebar di wilayah terpencil (remote area) khususnya daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T). Dalam situasi seperti ini terlihat jelas kesenjangan. Di satu sisi ada kelebihan produksi listrik, tetapi di sisi lain banyak daerah yang tetap hidup tanpa listrik.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, dibutuhkan sistem energi yang lebih inklusif dan tidak hanya bergantung pada sistem terpusat. Di sinilah desentralisasi energi dapat menjadi solusi dari permasalahan yang ada. Dengan desentralisasi energi, kita dapat mengembangkan pembangkit-pembangkit listrik skala kecil di dekat masyarakat, yang memanfaatkan sumber energi lokal seperti tenaga surya, angin, biomassa, dan air.
Desentralisasi ini ibarat memasang banyak keran kecil yang langsung berada di dekat kita, dibandingkan hanya mengandalkan satu keran besar di tempat yang jauh. Desentralisasi energi memungkinkan pembangkit-pembangkit kecil (sekitar kurang dari 1 MW) berada di sekitar masyarakat. Sistem ini lebih efisien, ramah lingkungan karena berasal dari sumber terbarukan, dan mampu menjangkau daerah terpencil yang sulit terhubung dengan jaringan listrik utama.
Selain meningkatkan pemerataan akses listrik, desentralisasi membuka peluang bagi pengembangan energi terbarukan. Namun, implementasi sistem ini perlu disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat agar dapat diterima dan dimanfaatkan secara optimal.
Sistem Kelistrikan Indonesia

Sistem kelistrikan kita bergantung pada Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang bertugas untuk menangani hampir semua rantai pasok kelistrikan di Indonesia, mulai dari pembangkit, transmisi, distribusi, hingga penjualan listrik kepada berbagai kelas konsumen. Dalam UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PLN harus bersaing dengan pengembang-pengembang baru yang diberi izin untuk menghadirkan listrik di daerah-daerah tertentu, namun PLN tetap memegang hak prioritas dalam banyak hal, seperti pemasangan jaringan listrik dan pembangkit skala besar.
Namun masalahnya, jaringan listrik PLN belum bisa menjangkau seluruh Indonesia. Sistem interkoneksi PLN baru tersedia di sebagian pulau besar seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Mayoritas desa yang belum teraliri listrik berada di wilayah Indonesia Timur, di antaranya 269 desa di Sulawesi, 229 desa di Maluku, 141 desa di Nusa Tenggara, dan 4.398 desa di Papua. Oleh karena itu, upaya untuk menyambungkan transmisi listrik ke seluruh penjuru Indonesia masih menjadi tantangan besar.
Indonesia punya tugas besar untuk memastikan setiap orang, dari Sabang sampai Merauke, punya akses ke listrik yang terjangkau dan bersih. Untuk melengkapi pendekatan listrik terpusat seperti yang dilakukan PLN, konsep desentralisasi energi hadir sebagai solusi pendukung. Selain itu, diperlukan tata kelola yang solid, dukungan pemerintah daerah, dan kerja sama PLN dengan pihak swasta.
Dalam mendukung misi ini, Indonesia memiliki kerangka besar untuk mengatur kebijakan energi, termasuk listrik. Melalui UU No. 30/2009, pemerintah pusat dan daerah memiliki tugas penting untuk memastikan setiap wilayah, termasuk daerah terpencil untuk memiliki kebebasan dalam mengakses listrik. Prinsipnya sederhana, energi harus lebih dekat, lebih inklusif, dan memanfaatkan potensi lokal seperti tenaga angin, sinar matahari, dan air yang ada di tiap daerah. Sayangnya, hanya sebagian kecil listrik kita yang berasal dari energi terbarukan, seperti tenaga matahari, angin, atau biomassa.
Desentralisasi Energi, Jalan Menuju Kedaulatan dan Keberlanjutan

Desentralisasi energi tidak hanya tentang menyediakan akses listrik, tetapi juga tentang kedaulatan. Kemampuan suatu komunitas untuk secara mandiri, berkelanjutan, dan adil mengelola sumber daya energinya. Dengan pendekatan berbasis komunitas, desentralisasi energi berupaya menyelaraskan kebutuhan energi dengan kearifan lokal. Model seperti ini tidak hanya memastikan akses listrik, tetapi juga membuka peluang usaha, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendukung transisi menuju penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Pulau-pulau terpencil atau daerah yang sulit dijangkau oleh jaringan transmisi sering kali terabaikan karena kebutuhan investasinya yang begitu besar dan kurang ekonomis jika menggunakan pendekatan terpusat. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dan tersebar di banyak wilayah. Potensi sumber tenaga hidro (air) sebesar 94,6 GW, tenaga surya mencapai 3.294 GWp, dan energi angin dari lepas pantai sebesar 589 GW dan daratan sebesar 19,6 GW.
Potensi tersebut seharusnya lebih dari cukup untuk menyediakan akses listrik bagi seluruh penduduk Indonesia, baik di skala besar maupun kecil. Meskipun beberapa sumber energi, seperti hidro atau angin, tidak tersedia merata di seluruh wilayah, sebagai negara di sepanjang garis khatulistiwa, energi surya secara praktis dapat dimanfaatkan di mana saja. Hal ini memberikan peluang besar bagi pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan, baik dalam skala kecil maupun besar, sesuai dengan kebutuhan lokal.
Potensi besar ini menjadi modal untuk menerapkan pendekatan desentralisasi energi, di mana pembangkitan listrik berbasis komunitas atau skala kecil dapat menggunakan sumber energi terbarukan untuk menjadi solusi strategis dalam mengatasi kesenjangan listrik.
Optimisme Desentralisasi

Implementasi proyek energi terbarukan tidak lepas dari tantangan sosial. Banyak proyek menghadapi risiko menciptakan ketidakadilan baru, seperti ketimpangan dalam distribusi manfaat dan kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan proyek. Solusi dari masalah ini adalah demokrasi energi, yakni pengelolaan energi berbasis masyarakat. Keterlibatan publik memungkinkan keputusan pengelolaan energi yang diambil lebih mudah diterima karena berlandaskan tujuan kolektif. Agar demokrasi energi ini berjalan efektif, diperlukan transparansi penuh terkait kebijakan pengelolaan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), yang ditopang oleh kepastian hukum di sektor energi.
Contoh nyata demokrasi energi adalah pengelolaan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat. PLTMH berkapasitas maksimal 120 KW ini melibatkan masyarakat dalam seluruh prosesnya, mulai dari pembangunan, pengelolaan, hingga distribusi listrik. Selain memenuhi kebutuhan listrik desa, kelebihan daya yang dihasilkan dijual ke PLN dan pendapatannya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk subsidi pendidikan, kesehatan, serta modal usaha yang dikelola melalui koperasi. Masyarakat juga memiliki 50 persen kepemilikan PLTMH ini, sedangkan sisanya dimiliki oleh investor swasta. Model ini tidak hanya memberikan keuntungan langsung ekonomi kepada masyarakat desa, tetapi juga menjadi contoh baik transisi energi berkeadilan yang mendorong penggunaan energi hijau dan desentralisasi pengelolaan energi.
Pendekatan sistem energi lokal tidak hanya bertujuan memperluas akses listrik, tetapi juga mendorong pemanfaatannya untuk kegiatan produktif, seperti usaha kecil dan industri rumahan, guna meningkatkan keberlanjutan finansial masyarakat. Program ini menekankan pentingnya kolaborasi antara pemangku kepentingan untuk memberdayakan komunitas, termasuk kaum muda dan perempuan, dengan keterampilan dalam energi terbarukan.
Kisah di Sumba Tengah merupakan kerja sama Inggris–Indonesia yang bertajuk Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (MENTARI) menunjukkan bahwa transisi energi yang berhasil tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat. Studi kasus PLTMH di Mbakuhau dan Kalimaron menjadi bukti bahwa listrik skala tersebar dapat dikelola secara mandiri dan dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat. Dengan pendekatan inklusif dan kolaboratif, inisiatif semacam ini dapat mempercepat elektrifikasi di daerah terpencil serta memastikan manfaat energi bersih dirasakan secara merata.
Contoh lain desentralisasi energi terlihat di PLTMH di Desa Air Tenam, Kecamatan Ulu Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan. Sejak 2013, PLTMH telah beroperasi di Desa Air Tenam dengan memanfaatkan aliran sungai sebagai solusi untuk kebutuhan listrik mandiri berkapasitas 13,9 kW yang melistriki kurang lebih 50 rumah, termasuk fasilitas umum desa. Namun, infrastruktur utama PLTMH rusak berat akibat banjir bandang pada 2020, yang berdampak langsung pada kehidupan warga.
Pada Juli 2022, Koaksi Indonesia melakukan survei kelayakan untuk menilai kemungkinan menghidupkan kembali PLTMH tersebut. Hasil survei ini dijadikan bahan usulan perencanaan revitalisasi. Memetakan persoalan teknis seperti perlunya penggantian turbin dan generator, menyoroti pentingnya pendanaan, pendampingan berkelanjutan, serta kolaborasi multipihak agar PLTMH kembali berfungsi. Potensi sumber air yang ada juga dibahas sebagai modal pengembangan inovasi, seperti charging station atau bank listrik untuk rumah warga.
Mendukung desentralisasi energi tidak hanya berarti memperluas akses listrik, tetapi juga memperkuat kemandirian energi komunitas, mengurangi emisi karbon, dan mendorong sistem energi yang lebih inklusif. Melibatkan generasi muda, inovator, dan pemangku kepentingan dalam mewujudkan elektrifikasi berbasis energi terbarukan menjadi langkah penting dalam menciptakan masa depan energi yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan.
Strategi Menciptakan Komunitas yang Mandiri Energi

Sistem kelistrikan di Indonesia yang masih terpusat serta lambatnya pengembangan energi terbarukan menjadi tantangan utama dalam proses desentralisasi energi. Keterbatasan kapasitas teknis dan minimnya pelatihan bagi masyarakat menyebabkan ketergantungan pada pihak luar dalam operasional dan pemeliharaan infrastruktur, yang sering kali tidak efisien dan berbiaya tinggi. Oleh karena itu, diperlukan transformasi model pengelolaan energi yang menjadikan masyarakat sebagai pusat pembangunan, bukan sekadar penerima manfaat atau pengguna akhir.
Desentralisasi energi yang berprinsip demokrasi tidak hanya membutuhkan infrastruktur fisik berbasis energi terbarukan seperti tenaga angin, air, dan matahari. Lebih dari itu, pendekatan berbasis komunitas harus mentransformasikan masyarakat menjadi aktor utama dalam seluruh siklus energi, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan, hingga pendistribusian energi. Dalam konteks ini, strategi berbasis komunitas menawarkan solusi yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga lebih berkelanjutan sosial-ekonominya.
Keberhasilan inisiatif ini bergantung pada beberapa elemen kunci yang semuanya melibatkan masyarakat secara integral. Pelibatan masyarakat sejak awal dalam seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga pengoperasionalan sistem energi, menciptakan rasa kepemilikan kolektif. Ini akan meminimalkan risiko proyek yang terbengkalai setelah dibangun karena masyarakat merasa menjadi bagian utama dari proses pembangunan. Dalam hal ini, peran local champions, yaitu penggerak komunitas yang dipilih berdasarkan kepercayaan masyarakat, sangat penting untuk mendorong keterlibatan yang aktif dan konsisten.
Selain itu, diperlukan pendampingan teknis yang berkelanjutan dalam mendukung pengelolaan energi berbasis komunitas. Bantuan ini tidak hanya berupa pelatihan teknis, tetapi juga mencakup transfer keterampilan manajerial agar masyarakat bisa mengelola infrastruktur energi secara mandiri. Selanjutnya, pengintegrasian kearifan lokal ke dalam sistem operasional agar solusi energi yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.
Dari sisi pendanaan, diperlukan skema yang fleksibel dan inovatif untuk mengatasi tantangan biaya awal. Pendekatan berbasis komunitas, seperti crowdfunding energi, bisa menjadi cara agar masyarakat dapat berkontribusi sekaligus merasa memiliki proyek tersebut. Pemerintah juga perlu menyediakan dukungan finansial yang berpihak pada komunitas, seperti subsidi khusus, pinjaman berbunga rendah, atau hibah bagi desa yang masih minim akses listrik. Kombinasi antara skema pendanaan tradisional dan mekanisme inovatif dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan energi.
Terakhir, kolaborasi antara komunitas, pemerintah daerah, sektor swasta, dan lembaga donor menjadi kunci keberlanjutan inisiatif ini. Komunitas harus diposisikan sebagai mitra sejajar dengan peran dan tanggung jawab yang jelas. Sementara itu, pemerintah daerah dapat berperan dalam mendukung kebijakan yang mempermudah pengelolaan energi mandiri, seperti membuka akses pasar dan menyederhanakan proses birokrasi.
Dengan kebijakan yang tepat dan keterlibatan komunitas yang kuat, desentralisasi energi dapat menjadi solusi nyata dalam meningkatkan akses listrik, mengurangi emisi karbon, dan memperkuat kemandirian energi nasional. Keberhasilan transisi energi tidak hanya terletak pada teknologi yang digunakan, tetapi juga pada peran aktif komunitas dalam membangun sistem energi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.